26 December 2010

Soliloquy

Well..
You ask me: " Which one the most important for you, me or your life?"

Then,
" My life." I said.

After that, you leave me alone without asking why and knowing that you are my life.






 Memoir of 2009
( I can still recall you along road and path to  Japan  )

25 December 2010

The real reason

Dear my beloved lectur (Elisabeth Rosa and Rosa Quiin Iduansyah) and also to my beloved friends (Efrinia Hernanti, Elyzabeth Rica and families, Natalia Osuna, Ojhe Threewinbertyohansenembang Ojhe and his wife Yeyen Asiani, Alfianus Rinting, Marcos Garcia, Fernando Ortiz, Emanuel Osuna, Natasha Marion, Mariela Galvez, Tianggur Marbun, German Garcia Perez, Betiana Galeano, Betina Galeana, Liz Golden, Sunny Gatthan and his beloved Reli Perisnawati,Renzo Galeano, Samanta Llicel Galeano, Roxana Galeazzi, 'Kim Casey NugentRoberds, Bene Esandome, Samantha Thornhilland ).May all of you  you find this Christmas inner peace,equal to the patient love you give, releasing all the pain you can release, renewing all the grace with which you live.Yearnings may you turn to rhapsodies,choosing to find happiness in beauty. Amien..


 The angels that watch naked from afar
May you hear sing of who would none condemn.
As all you love are blessed in having you
So may you feel the joy in all you do.

The wreaths and the trees and the parties
Aren't what we need to convey
It's the birth of our Savior, Jesus
The real reason for this holiday.






(in the morn Dec of 25 ,2010)

Sepi sing gogrok

Aku nang kene
bareng sepi sing gogrok
barengan karo godhong jati kui
bareng garinge suket

Aku isih kelingan
esemmu kae kang sumringah soyo adoh
gawe atiku tambah nelongso

Sliramu
mblenjani janji
suloyo, ora iso dipercoyo
nandur winih ing wanito liyo,  murih kenikmatan sejati
kang selawase urip durung tau tak cicipi








25 Desember 2010, sejenak dalam hangatnya mentari
(Kagem diajeng lan kangmas)

Risalah Kenangan

Meski tak jarang pula kutemukan gumpalan awan
Menghitam bergelayut manja di sana,
tetap saja aku bersikeras ingin nikmati indahnya langit jingga

Begitupun kenangan kita yang menjelma risalah
Seperti yang kau ucap: kenangan menjadi risalah,
terukir pada bebatuan dengan sukar tuk dihapuskan

Kau pun bahkan tak kenali siapa yang salah
diantara kau dan kenangan
Sebab, kau hanya berkata bahwa lipatan- lipatan awan di sana lah
yang memberimu ilham.


seiring sering aku temukan
gumpalan awan menghitam
bergelayut manja di sana
tetap membulad tekadku untuk
menikmati keindahan langit jingga

kenangan kita menjelma
menyeruak menjadi problema
Seperti yang kau katakan;
"kenangan menjadi risalah
terukir pada bebatuan
dengan sukar tuk dihapuskan"

hingga kau tak mengenali
siapa yang salah
kau atau kenangan masa
karena kau hanya mengilhami ilmu
dari lipatan-lipatan awan

aah...aku juga berfikiran sama
semoga dengan memandangnya
kita terlepas dari masalah








Desember 2010. Kagem Cah Bagus (B.N)
(Sebuah umpan manis untuk Onggokan Kenanganku)

a message from The Mother of Earth

I know
Many times  hunger comes from your empty stomach
But your desire haven't fulfill yet
There is not much food to find

I know
It's your time to get an education
But education for you isn't  an option
All you have just a forced freedom

I know
It's all about the rigidity
All the time you  face danger day and night
And sleep beneath the flyover, everywhere

How could it be?
please tell me...





25 of Dec, 2010


22 December 2010

Labirin cintamu


Seberkas sketsamu                                                                               
mengada dalam khayal kami
seulas senyummu
hiasi sketsamu

Sesaat kami tutup kelopak ini
hadirkan rautmu
seolah nyata terjamah
guratan  kesejukan di wajahmu

Terimakasih bu,
Kau bangun labirin cinta
untuk kami, buah hatimu
tempat kami labuhkan segala dahaga
hingga kami makin tersesat di dalamnya
dalam labirin cintamu yang meruang tak berujung
meski kuarsa terus membawamu

Maafkan kami,
tak dapat tandingi labirin cintamu
bahkan hingga nyawa kami meregang



 










Hari ibu, 22 Desember 2010
( Wulan lan Bayu ngaturaken Sugeng katresnan kagem ibu ingkang kito sayang)

20 December 2010

Thee


Who weaves ma luv
moves ma heart
in many rapture
Joy
and
Sorrow..





(while remembering thee, S.I)

Esok bukanlah dulu

Kuarsa yang  temukan kita
dalam tawa dan nelangsa
lalu..
kuterbiasa dengan seluruhmu

Pernah kau sesalkan yang telah kita tapak?
Esok bukanlah dulu




Dear, S.I
Lampung, 2010

18 December 2010

Onggokan Kenangan

Rinai kembali menyapa
basuh jagad dengan hawa yang dimilikinya
dan..
rupanya tak puas hanya dengan tebarkan hawa dinginnya,
rinai pun menderas.
di sini, di sudut jendela ini
semua terlihat lusuh

tiba-tiba..
kulihat kenangan kita menggenang
bersama semua yang ada.
lalu..
kemana hujan akan memmbawa kenangan kita yang tergenang itu?
ke selokan di ujung jalan itu kah?
atau mengonggok di tumpukan sampah itu?
ah...
entahlah..






E.R, 19 Des 2010
16:00
(di suatu senja yang bertabur rinai)

08 December 2010

Underneath the Storm


Dear  my beloved   mom who always pray for me and gives me the greatest patience, loves, care, guidance, support which is give the great impact on my life. There's none  in this world who gives me love as big as your love for me and gives me love purity.


I find it hard to say..
I'm lucky having you mom.
You're the one I'm with when I'm alone;
You're the place within my heart that's home.
Whatever , what has happen to me,
I know that I have, always, your love.
just like underneath the storm.

I love you mom..






 Sajak cinta untukmu bunda
selamat ulang tahun untuk bundaku tercintaa.
.

19 October 2010

MENGKAJI GERAKAN SASTRA 'HORISON'

 
oleh:Abdul Aziz Rasjid

Taufiq Ismail pernah merasa bahwa dirinya bersama puluhan anak SMA lain seangkatannya di seluruh Tanah Air telah menjadi generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Istilah nol buku menerangkan pada kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga mereka menjadi rabun membaca. Sedangkan istilah pincang mengarang diakibatkan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.

Keadaan generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang itu lalu diindikasikan Taufiq Ismail sebagai sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Indonesia di seluruh strata, baik di pemerintahan maupun swasta.
 
Didorong oleh keresahan pada adanya generasi nol buku itulah, lalu Taufik Ismail menggagas gerakan sastra bersama majalah Horison–di mana Taufik Ismail pernah menjadi redaktur senior dan salah satu dewan redaksi–dengan tujuan menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa bagi kemajuan pendidikan sastra di Indonesia. Taufik Ismail dan Horison tak main-main memang, sasaran yang dituju meliputi SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK, sampai mahasiswa se-Indonesia.
Gerakan sastra itu terdiri dari lima program, berupa 1). Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, 2). Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), 3). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan 5). Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).
 
Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison digunakan sebagai medium mengenalkan sosok dan karya sastrawan Indonesia pada siswa. Sosok, karya, proses kreatif sastrawan Indonesia lalu diulas oleh Horison dengan harapan dapat memberi influence bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastrawan Indonesia. Untuk mempermudah akses pengonsumsian pada siswa, majalah Horison lalu disebar secara gratis ke SMA, madrasah aliah, pesantren, dan SMK. Di sisi lain, sisipan Kaki Langit dalam majalah Horison juga menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya.
 
Siswa dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai di mana karya siswa ini lalu ditelaah oleh Horison. Telaah yang dilakukan Horison dapat dikatakan sebagai edukasi sekaligus evaluasi agar teknik menulis siswa dapat lebih berkembang. Sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai eksekutor terpenting dalam lingkup pendidikan (sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis, dalam sisipan Kaki Langit dapat berbagi pengalaman tentang metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah lewat kolom Pengalaman Guru.
 
Tiga Program lainnya, yaitu pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) adalah ajang promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis di instansi pendidikan, dan juga perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.
Program-program di atas setidaknya menjelaskan bahwa tradisi membaca dan menulis bagi siswa SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK dan mahasiswa telah digalakkan. Hasil ideal juga telah didapati, yaitu adanya karya yang dihasilkan siswa SMA, madrasah aliyah, pesantren, SMK, dan mahasiswa yang kemudian dimuat dalam majalah Horison. Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana karya mereka selanjutnya (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat diterbitkan lalu dikonsumsi masyarakat? Untuk dapat memprediksi sejauh apa peluang-peluang karya mereka dapat diterbitkan, tentu harus ditengok dahulu sistem penerbitan karya yang berjalan di Indonesia ini.
 
Menurut Yosi Ahmadun Herfanda dalam Kapitalisasi Sistem Produk Sastra Kota (Horison, edisi September 2004), secara umum keadaan sistem industri budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri market oriented yang secara jelas mengejar pengembangan modal. Sedang kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.
 
Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dalam sistem ini, maka peluang penulis menjadi besar jika idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar untuk sementara dipinggirkan lalu tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dampak yang terjadi kemudian, penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan penulisan karya demi popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.
 
Pada sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal atau dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal–dalam bidang sastra Ahmadun mencontohkan Horison, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu, konsekuensi logis bagi penulis agar karyanya dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini, secara positif memberi peluang kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya, asal idealisasi itu harus melebihi atau sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas, sedang sisi negatifnya akan melahirkan penulis-penulis yang hanya akan menjadi tenaga kerja repetitif karena tujuan penulisan sekadar menyesuaikan selera komunitas.
Dalam sistem penerbitan inilah, pekerjaan rumah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menumbuhkan tradisi membaca dan menulis semacam yang dilakukan majalah Horison mendapat tantangan sebenarnya, yaitu memberitahu sejak dini pada siswa pentingnya menjadi tenaga ahli dalam bidang apa pun, lalu mewartakan tentang pentingnya cara menyiasati peluang-peluang pemasaran karya guna mempertahankan idealisasi pemikiran mereka.
 
 
 

17 October 2010

Mahligai Setengah Rasa

Kuperhatikan wajah malaikat kecilku. Kuselusuri garis-garis kelembutan di wajahnya, kubelai rambut lembutnya. Sesekali kulihat ia membuka mata indahnya dan menyunggingkan senyum kecilnya untukku.
“Zishan sayang bunda.”  Bibir kecilnya berucap.

Kurapatkan tubuhku dan kucium keningnya. “Bunda juga sayang Zishan ”  gumamku.
Kurasakan nafasnya mulai teratur. Rupanya ia telah terlelap.
Kembali kuberikan kecupan sayang di wajah kecilnya.

“Hhhmm….”  aku menghela nafas. Kebahagiaan ini sungguh luar biasa.  Venska dan Zishan adalah anugrah terindah di kehidupan kami.  Malaikat kecilku selalu membuatku tetap semangat nikmati sisa hidupku yang tidak lama lagi.  Itu pun kalau ucapan dokter memang sesuai dengan takdir usiaku dari Tuhan.

Kembali aku teringat vonis yang dokter berikan terhadap penyakitku ini.

"Ibu harus kurangi aktifitas, jangan terlalu lelah."  Dokter Vony berujar
Hanya sebuah senyum simpul yang kuberikan padanya.
"Ini sungguh-sungguh lho."
"Iya dokter."  Jawabku.
"Kenapa suami ibu tidak pernah terlihat menemani ibu untuk check-up?"  Lanjutnya.
"Suami saya sibuk dengan urusan kantor."  Ucapku berbohong. Ah.. seaidainya dokter itu tau bahwa bahkan suamiku pun tidak mengetahui tumor otak yang menggerogoti tubuhku ini. Sudahlah...

Akupun tak habis fikir, bagaimana bisa hatinya tak bergeming sedikitpun oleh segala ketulusan dan kesetiaanku padanya. Jangankan untuk memuji kecantikanku ataupun segala yang kuberi padanya, bahkan untuk sekedar berbasa basi pun enggan rasanya.

Aku rasa ia tau bahwa aku begitu mencintainya, bahkan dengan sengaja kutunjukkan padanya.   Tak bisakah ia rasakan besar cintaku dari pancaran mata ini,  bahkan dari bahasa tubuh yang kerap kali kuperlihatkan padanya.  Aku selalu berusaha mencari akal untuk mengungkapkan rasa sayangku padanya.  Kalimat-kalimat cinta sering kukirimkan lewat pesan singkat.  Tak jarang pula kuselipkan kalimat cinta ditumpukkan baju dalam lemari pakaian, di bawah tumpukan pakaiannya, di bawah bantal, dan di beberapa tempat yang tak pernah terduga, ku kirimkan pesan cinta itu padanya.

Benarkah  ia memang tak perduli denganku,  tak tau kesunyian yang kurasakan selama ini. Itukah yang mungkin membuatnya tak bisa perduli padaku.  Rasa ibanya padaku pun tak ada, bahkan tak jarang justru ia membuatku selalu meneteskan air mataku.

Ia berkata bahwa sebenarnya ia tak ingin membuatku menangis. Tapi entah kenapa, kepolosan – kepolosan yang kadang kulakukan justru terlihat bodoh dimatanya.  Kebodohan itulah yang membuatnya marah padaku. Tak jarang pula ia lontarkan kata-kata kasar padaku.  Ia sengaja lakukan itu agar aku tau bahwa ia tidak suka dengan kebodohan yang kuilakukan ini, dan  kebodohan yang paling sering kulakukan adalah menangis dihadapannya.

"Ah… s***..!"
Ia mengumpatku.

"Menyebalkan sekali. Kenapa kau  begitu rapuh, mudah sekali meneteskanan air mata.Inilah yang membuatku tidak bisa mencintaimu meskipun kita telah bersama selama bertahun ini. "  Gumamnya.

Dan justru semakin berurai air mataku.



                                                                           ***
Selama beberapa hari ini sikapnya memang begitu dingin padaku ,bahkan tak pernah lagi ia suguhkan sebuah senyum manisnya padaku, juga suaranya. Beberapa hari ini tak jua ia bertegur sapa denganku.  Jenuhkah..?
Jangankan untuk bercengkrama , untuk sekedar menyuguhkan sebuah senyum manisnya padaku, pun suaranya begitu berat rasanya . Mungkin kejenuhan mengancamnya.

                                                                              ***
Apa ia tak bisa rasakan kesetiaan yang terlihat dari pancaran mataku, juga dari bahasa tubuhku selama ini. Bahkan ketika dengan setia aku menemaninya ketika tugas-tugas kantor menumpuk di meja kerjanya. Dengan setia dan tulus kuabdikan diriku sebagai seorang istri padanya.

“Mas, ini kopinya.”  Ucapku sambil kusodorkan secangkir kopi.
“Ya..”  Jawabnya singkat.
“Apa tidak sebaiknya mas istirahat dulu, besok dilanjutkan lagi. Bukankah besok pagi-pagi sekali mas ada meeting?”  tanyaku  sambil merapihkan sulamanku.

"Aku lapar,buatkan sepiring nasi goreng untukku."

Lalu aku beranjak dan  kembali dengan sepiring nasi goreng untuknya.

"Tidurlah kalau kau sudah mengantuk."  Ucapnya sambil menikmati nasi gorengnya.
"Iya mas, nanti saja. "
"Mas, kenapa sejak kita menikah sampai saat ini, kita tidak pernah sekalipun pergi bersama?"   Lanjutku.

"Kau harus paham kesibukanku, kau bisa pergi dengan anak-anak. Kau sudah terbiasa mandiri sejak dulu kan"
"Iya mas. Maaf."

"Sudahlah,aku sibuk, jangan ganggu aku dengan pertanyaan bodohmu itu."
“Maaf mas”.
Lalu aku terdiam.

Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan lamunanku. Rupanya suamiku sudah pulang.


                                                                 #########

Akupun  tak habis fikir, bagaimana bisa hatiku tak  bergeming sedikitpun oleh kepolosan wanita itu. Jangankan untuk memuji kecantikannya  ataupun segala yang ia beri padaku, bahkan untuk sekedar berbasa basi pun enggan rasanya. 

Aku  sebenarnya tau ia begitu mencintaiku, besar cintanya bisa kuihat dari pancaran  mata itu.  Juga dari bahasa tubuhnya  yang kerap kali kulihat.  Ia Seolah tak pernah  kehabisan   akal untuk mengungkapkan rasa sayangnya padaku.  Kalimat-kalimat  cinta sering ia kirimkan  lewat pesan singkat. Tak jarang  pula kutemukan  kalimat cinta itu terselip ditumpukkan baju dalam lemari pakaianku, di bawah bantal, dan di beberapa tempat yang tak terduga, ia kirimkan pesan cinta itu padaku.

Aku sebenarnya perduli dengannya,  Aku tau kesunyian yang ia rasakan selama ini. Aku ingin membuatnya tersenyum di kekosongan jiwanya.  Tapi  justru air matanya  lah yang sering kulihat di kedua mata  indah itu.

Sebenarnya aku tak ingin membuatnya menangis. Tapi  entah kenapa, kepolosan – kepolosan  yang  ia lakukan justru  terlihat bodoh dimataku. Kebodohan itulah yang membuatku  marah padanya. Kulontarkan kata-kata kasar padanya agar ia tau bahwa aku  tidak suka dengan kebodohan  yang dilakukannya itu, dan  kebodohan yang paling sering ia lakukan adalah menangis di hadapanku.  Seolah aku ini  begitu jahat padanya.

"Ah… s***..!"
Aku mengumpatnya.

"Menyebalkan sekali. Kenapa kau  begitu rapuh, mudah sekali meneteskanan air mata. Inilah yang membuatku tidak bisa mencintaimu meskipun kita telah bersama selama bertahun ini".  Aku menggumam.
Dan justru semakin berurai air matanya.


                                                                                       ***

Selama beberapa hari ini sikapku memang begitu dingin padanya, bahkan tak pernah lagi kusuguhkan  senyum manisku padanya,  juga suaraku.  Beberapa hari ini tak jua aku bertegur sapa dengannya. Sepertinya aku memang sudah bosan.
Jangankan untuk bercengkrama , untuk sekedar kusuguhkan  senyum manisku padanya, pun suaraku begitu berat rasanya.  Entahlah ia merasa atau tidak bahwa kejenuhan mengancamku.


Sengaja ia kusuguhi sebuah wacana yang mengarah pada kejenuhannku, berharap agar ia pahami semuanya. Namun semua itu sepertinya tak mengubah rasa yang ia miliki untukku selama ini. Tak pernah, dan takkan sedikitpun.

Sebenarnya ku bisa merasakan kesetiaannya padaku . Bahkan dengan sabarnya ia menungguku, temaniku lembur ketika tugas-tugas kantor menumpuk di meja kerjaku.

 "Mas, ini kopinya."  Kulirik ia meletakkan secangkir kopi di sisi kiri meja. Lalu kilihat ia berkutat merapihkan file-file yang berserakkan di lantai. Satu persatu disusunnya kertas-kertas itu dengan rapih di atas meja.  

"Mas sebaiknya istirahat dulu sejenak, besok dilanjutkan lagi. Bukankan besok pagi-pagi sekali mas ada meeting?”  Ucapnya sambil merapihkan sulamannya.

"Aku lapar,buatkan sepiring nasi goreng untukku."

Lalu kulihat ia beranjak dari tempat duduknya, dan benar saja, ia kembali dengan sepiring nasi goreng.  
"Tidurlah kalau kau sudah mengantuk."  Ucapku sambil kunikmati nasi gorengku. Dalam hati kupuji nasi goreng buatannya. Nikmat...
"Iya mas, nanti saja.  Hhhmmm…mas, kenapa sejak kita menikah sampai saat ini, kita tidak pernah sekalipun pergi bersama?" Lanjutnya.
"Kau harus paham kesibukanku. Kau kan bisa pergi dengan anak-anak. Kau sudah terbiasa mandiri sejak dulu kan"
"Iya mas. Maaf."
"Sudahlah, aku sibuk, jangan ganggu aku dengan pertanyaan bodohmu itu."
“Maaf mas.” 
Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya.

Ah... semua ini membuatku muak. Termasuk perhatian dan rasa cinta yang ia berikan padaku. Seharusnya ia tak usah menuntut cintaku untuknya.

Entahlah...

27 September 2010

Puzzle dari NYA

Bukankah 
kita tak perlu menjadi Jean paul satire yang dengan romantis 
menolak menikahi kekasihnya karena tak mau rebut eksistensinya,
kita tak perlu lakukan itu
sebab pernikahan kita nanti tidak akan sedikitpun mennghilangkan eksistensi. 
Justru sebagai bentuk tanggung jawab untuk menghargai pasangan dalam kebersamaan  disegala waktu

dalam pernikahan kita nanti 
semoga kita temukan arti pernikahan itu sendiri 
betapapun pahit dan tak terduga dan kita tempuh dengan bahagia 
seperti ketika kita menyusun puzzle yang begitu rumit namun mengasyikkan 

dalam pernikahan kita nanti
semoga kita tidak akan pernah bosan 
seperti layaknya serangkaian puzzle yang telah kita kenali polanya


semoga dalam pernikahan nanti
kita tetap bergairah melengkapi serangkaian puzzle hadiah dari Allah.
Keping demi keping dan mulai dari sisi manapun 
asalkan dari titik yang kita sepakati bersama 
dan kita bisa saling bertukar puzzle,saling mencocokkan pola dan corak setahap demi setahap dengan fikiran jernih





September 2010   
untuk kekasih hatiku  

Soledad

I still enjoyed “One Hundred Years of Solitude” by Gábriel Garciá Marquez when my sister, Ajeng entered my room. She take a sit in my bed. Knowing  I enjoyed my reading, she said that she want to talk to me.
“Dear, do you feel that we have lost our time much?"
Hearing that, I closed my book then  sit besides her.
"Sometimes I feel there is someone being gap between us. Is it right honey?” She continue her speaking.
“ We don't have much time to share anymore. Even just to talk around the bush. We almost haven’t time my dear”
“Sista, what’s on earth exactly?" I ask

“I just want you to tell me what do you think  about us now”
“Sist, I just want to see your happiness. It is enough for me." I said.
My sister looked up into my eyes. She try to dig up words to declare something such burden from the bottom of her heart. I can feel that she being speechless to talk to me.
“Sista, give me sorry to my words."
She gives her smile as the answer. She asked me to continue my speaking.


Then I continue my sentence, “sista, I still remember our past four years, I give you permission when you tell me that there is a men want to give happiness for you."


I take a breath in a moment. I stop my words, see my sister in a moment, then continued my words.
“I think you have known about him, who are him, including his personality. So I give my permission to you. As I told you before,  I’m on your path even though honestly I didn’t like him. I love you sista, I don’t want something hurt you, even your husband.”  I said.
“Honey, I know and realize it’s wrong. But am I wrong if I try to keep silent and wish everything will be better?"

While hearing her speaking, I’m down on her shoulder. I give my hug to her, full of love. Suppose to be her, may be I didn’t take this way.
“Sist, have you ever wished a time machine?" I said while give my smile to her.
She gives her smile as her answer.
“Well.. what do you feel just now?" I said.

“Wish everything will be alright, everything gonna be O.K."
Then her voice trialled off. She kiss me that left my room without a single words. Silent.

Two following days, my sister and I talking about it again.

“Sist, are you sure to let it like this?,I  mean, are you sure to let this condition just  like this? it’s about your new life”. I said while looked into her eyes.
“You know my position  dear, just let it flow and wish everything will be better.” 


I looked up into her sharpen eyes, then I give my big hug for her as big as my love for her. 




Next few days, when I'll take my book on my desk, I see One Hundred Years of Solitude by Gábriel Garciá Marque. Then I smile and knowing without asking why to my sista's decision. It's her own decision to let solitude on her own life.





Lampung, 2006

Try to be a good listener
and understanding 
without asking why

26 September 2010

eeeiiittsss.... ngapain Nda di sini..??

Bismillah....
well... mungkin terkesan ikut-ikutan anak muda jaman sekarang, nge-Blog.tapi... agaknya emang begitu. hehehehe.....(jadi malu ^_*).awalnya ide masukin semua tulisan ke blog ini sih karena ada tmen yang bilang, " knapa gak jdi satu aja dikumpulin di blog Nda?,daripada cuma ditulis dan disimpen file-filenya".
yo weis.... finally inilah jadinya. emang jauh dari kata indah.tapi... i'm just a little dreamer yang punya angan. *hehehe... lebay.com*
blog ini  isinya cuma tulisan-tulisan cerita yeng teramat singkat,pendek dan gak jelas (bukan cerpen sungguhan kya yg sering kalian baca itu) karna ini cuma imajinasi singkat yg lahir karena ISENG. maklumlah, imanjinasinya masih dangkal bgt.(pantesan...gak ada nilai seninya *_^). juga ada beberapa sajak pendek yang singkat juga pastinya.. . 
pokok e, ini lah hasil rangkaian abjad yg LAHIR (bayi kali....:D )  dan agaknya emang berhasil mempermalukan diri sendiri lewat blog ini dengan menumpah ruahkan (menumpah ruahkan. :-?) abjad di halaman -halaman ini. .
jujur, gak ada tujuan apapun dalam postingan blog ini. cuma jadi wadah uneg" aja . (bneran kok... ^_^) 

beberapa postingan emang sengaja dibuat kagem ibu kulo lan  abi , kagem sedoyo engkang kulo sayang. kagem bapak pun wonten.nyuwun ngapunten bilih wonten klenta-klentu dateng postingan kulo. (lhoh...kok jdi siaran daerah... :-/ ) hehehe....



 with love,,,,
Nda,,

25 September 2010

Pulang

“Berapa tiket mbak?”
Sebuah suara melesat ke telingaku. Aku yang semula sedikit melamun, kontan terkejut mendengar suara tadi.
“Mbak, mau berapa tiket?”
Pria penjual tiket yang berusia separuh baya itu kembali bertanya padaku.
“Satu saja pak, duduk dekat jendela ya pak.”

“Ini mbak. Kursi nomor 13. Rp.10.000”
Kuambil tiket itu dan bergegas menuju kursi nomor 13, tepat disamping jendela. Bis itu masih kosong, tapi aku tak perduli, aku duduk sambil memandang ke luar jendela.
Di luar sana hujan, tapi rupanya hujan tak menyurutkan aktifitas orang –orang itu. Tiba-tiba saja mataku terpaku melihat seorang ibu buta. Ia berjalan bersama seorang anak berumur tak lebih dari 11 tahun.

Si ibu itu menengadahkan tangan kanannya, sementara itu putra kecilnya menuntun lagkah ibunya sambil menggamit lengan kiri sang ibu. Mereka meminta belas kasihan setiap orang yang ada di sepanjang peron. Tiba-tiba kurasakan pipiku basah oleh air mata yang tak kuasa kubendung. Anganku terbang seolah ibu dan adik laki-lakiku lah yang ada di sana, di peron itu, mengemis ke setiap orang yang mereka temui demi menyambung hidup kami. Air mataku kian deras menetes tak terbendung. Tba-tiba kakiku ingin rasanya melangkah ke sana.

Aku turun dari bis kosong itu, tergesa aku berjalan ke arah ibu buta itu, ku buka dompetku, kuberikan satu-satunya uang yang ada di dompetku, ku ulurkan selembar Rp.20.000 pada sang ibu.

“Terimakasih nak.”  ucapnya
“Iya.”  balasku

Kemudian aku membalikkan badan, berjalan menuju bisk. Tiba-tiba suara ibu tadi mendarat lagi di telingaku.

“Nak, siapa namamu?”
“Venska bu”
“Pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu venska” ucap ibu itu sembari mengusap tanganku. Air mataku kembali menetes mendengarnya. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang di ucapkan ibu itu sebab fikiranku terlalu kalut.


“Bu, Venska takut ketinggalan bis. Venska mohon diri bu.”  ucapku memotong entah apa yang di ucapkan ibu itu.
“Mari bu,,”  ucapku singkat seraya bergegas menuju bis yang akan membawaku pulang. Aku tak sanggup mendengar ucapan yang terlontar dari mulut ibu itu, terlalu menusukku rasanya.
“Ngapain mbak kasih duit ke pengemis itu?”

“Cuma orang yang malas bekerja mbak.”
“Ya mbak,”
“Rugi mbak.”
“Lho, kok nangis mbak?”
Semua ucapan orang di sepanjang peron itu tak ku hiraukan, aku berjalan lurus ke bis yang berwarna kombinasi biru tua itu.

Kubuka pintu bis, aku berjalan menuju kursi nomor 13. Kuhempaskan diri di kursi . Bis ma sih juga kosong, hanya ada aku di temani alunan lagu “ibu” milik iwan fals. Kubuka tirai jendela, kembali ku lihat ibu tua itu bersama putranya. Mereka sedang duduk sambil berbincang. Sesekali ku lihat senyum mengembang di wajah wanita tua itu.

Tiba-tiba aku kembali terngiang ucapan ibu tua itu. “Pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu venska.”  Pipi ini kembali basah saat ku ingat ucapan wanita tua itu. Pasti wanita itu tidak tahu, betapa kecewanya ibuku memiliki anak yang tak berbakti sepertiku,anak yang selama ini di banggakannya, ternyata tak bisa memberikan kebanggaan apapun untuk seorang ibu yang telah melahirkannya, merawatnya, bahkan menghidupinya seorang diri sejak belasan tahun yang lalu.

Wanita tua itu tidak tahu bahwa Venska yang memberinya uang selembar Rp.20.000 tadi hanyalah seorang Venska yang telah membuat ibunya merasa kecewa.
Aku meraba wajahku, ternyata kedua pipiku semakin basah dengan air mata. Kuambil kaca dari dalam tas, kulihat mataku begitu sembab karena terlalu lama meneteskan air mata.
Kuusap sisa air mata yang menetes dengan sehelai tissue yang ku ambil dari dalam tas. Tiba-tiba aku merasa lapar, ingin rasanya membeli sepotong roti atau sebungkus tango untuk mengganjal perutku ini. Tapi sayangnya aku sudah tak memiliki selembar uang pun. Kuambil sebotol air minum dari dalam tas, kuteguk untuk membasahi tenggorokanku. Aku ingatn masih punya 3 bungkus cokelat yang  kubeli kemarin sore saat aku membeli sebotol shampo.

“Lumayan buat ganjel perut.”  Ucapku sembari membuka sebungkus cokelat.

“Ayo…..buruan naik, bis sudah mau berangkat!” Kudengar suara kondektur mengajak penumpang menaiki bis yang sedang kutumpangi.
Tak berapa lama bis mulai terisi penumpang. Mereka duduk sesuai nomor kursi dan karcis mereka.

“Mau kemana mbak?” tanya seorang remaja berseragam SMA sembari duduk di kursi sebelahku.

“Pulang.”  jawabku
“Sama dong….pulang kemana mbak?”
“B.J” ucapku menyebutkan salah satu kota beriklim panas di Lampung.
“Kok betah sih mbak tinggal di sana,kan panas”
Aku hanya tersenyum.
“Oh ya mbak, aku Monita.” Ucapnya sembari mengulurkan tangan.
“Venska” jawabku disertai senyum
“Mbak tadi dari mana?”
“Dari tempat saudara”
“Di mana mbak?”
“P.U”
Kok pulangnya gak di anter mbak?”
Aku menggeleng.

“Gantian mbak yang nanya aku dong” ucapnya
“Tanya apa?” jawabku
“Apa aja lah mbak”
“Kamu kok jam segini udah pulang Ta?” aku mencoba bertanya.

“Iya mbak, aku tadi pulang cepet karena gurunya rapat, jadi sekalian aja aku pulang  ke rumah,kebetulan kan besok minggu, jadi minta jatah untuk bayar kost” jawabnya panjang

Aku hanya mengangguk menanggapi jawaban yang dia berikan.
“Uang peronnya mbak!” tegur petugas peron.
Aku menyerahkan uang yang telah ku siapkan untuk peron.
“Monita gak ada uang receh mbak.”
“Udah kok Ta,tadi udah sekalian.” jawabku
“Makasih mbak.”
Aku mengangguk

Kuperhatikan petugas peron menghampiri tiap bangku. Setelah semua penumpang membayar peron, ia turun dari bis dan perlahan kurasakan bis mulai berjalan. Bis membawa kami keluar dari terminal induk itu.
“Pak sopir, hiburannya mana?” tiba-tiba suara Monita memecah keheningan bis yang kami tumpangi.

Kutengok gadis manis di sebelahku, aku tersenyum padanya sambil menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Biar gak ngantuk pak” sambungnya sambil tersenyum padaku.

Kemudian sang kondektur terlihat memutar sebuah CD berisi kumpulan lagu-lagu yang sedang booming sekarang.

Kudengar Monita bersenandung seiring lagu yang kudengar. Tak kuhiraukan dia, kuatur posisi dudukku, kurebahkan kepalaku di sandaran kursi itu. Aku terlelap.

“Venska, kenapa kamu buat ibu kecewa nak?”
Aku terdiam

“Kenapa tidak kamu hiraukan wejangan ibu nak?”
Aku terdiam.

“Apa ibu terlalu mengekangmu?”
Aku tetap terdiam
“Apa ibu terlalu keras terhadapmu?”
Aku tak bergeming


“Apa kamu lupa semua nasehat ibu?”
Aku tetap tertunduk
“Ibu pengen dengar, apa salah ibu nak?”
Aku menggeleng
“Venska sayang ibu kan nak?”
Aku mengangguk
“Ingat semua pesan ibu?”
Aku mengangguk
“Masih ingat nasehat ibu?”
Aku mengangguk lagi

“Masih ingat semuanya?”
Lagi-lagi aku mengangguk
“Kenapa mengecewakan ibu nak?”

Sampai batas ini air mataku tak lagi dapat ku bendung. Aku terisak dan semakin terisak. Ibu memelukku erat sekali, mencium keningku kemudian merebahknku di dadanya. Pelukan itu semakin erat, aku makin menangis makin menjadi tangisanku dalam pelukannya.

“Mbak Venska….!”
Tiba-tiba kudengar suara Monita. Rupanya barusan aku bermimpi dan benar-benar terisak.

“Mbak mimpi apa, kok nangis?” tanyanya.
Kuusap air mataku dengan sehelai tissue yang di sodorkan Monita.

“Mbak gak apa-apa kan?” kembali ia bertanya.

“Gak apa-apa kok Ta.”  Ucapku sambil tersenyum padanya.

Kemudian kami sama-sama terdiam. Monita kembali menikmati lagu yang entah sudah kaset yang ke berapa yang di putar oleh kondektur.

Ketika aku hampir sampai tempat tujaunku,aku bersiap turun. Bis yang kami tumpangi berhenti di tempat yang ku minta.

“mMbak duluan ya Ta, makasih tissuenya.”  Ucapku mengakhiri perjumpaanku dengan Monita.
“Iya mbak.”  Jawabnya.
Pintu belakang bis di buka oleh kondektur. Aku bergegas turun kemudian aku menyetop angkot berwarna coklat yang akan membawaku pulang ke rumah.
Di dalam angkot aku hanya terdiam. Tak sabar rasanya aku ingin rasanya aku menjumpai ibu dan memeluknya seerat mungkin.

“Turun mana mbak?” Tanya pak sopir
“Oh…perempatan depan pak.”  Jawabku gugup.

Angkot berhenti dan kuulurkan selembar lima ribuan pada pak sopir. Hatiku berdebar seiring langkahku menuju pintu rumahku. Kulihat pintu rumahku tertutup. Ibu belum pulang fikirku, tapi kulihat jendela rumahku terbuka.


Aku sudah sampai di depan pintu. Aku hanya berdiri terpaku dan sama sekali belum kubuka pintu rumahku. Perlahan ku sentuh gagang pintu, ku rasakan debaran ini makin kencang.
“Assallamualaikum….” Ucapku sambil kubuka pintu itu.

“Alaikumsallam”
Kudengar sebuah jawaban. Aku tahu itu suara siapa. Aku kenal, aku hafal sekali suara di dalam. Itu suara ibuku, seorang wanita yang selalu kurindu, wanita yang selalu membuatku  ingin pulang dan rebah disampingnya.

____________________________
  Bandar Lampung, Oktober 2004
____________________________