Kuperhatikan wajah malaikat kecilku. Kuselusuri garis-garis kelembutan di wajahnya, kubelai rambut lembutnya. Sesekali kulihat ia membuka mata indahnya dan menyunggingkan senyum kecilnya untukku.
“Zishan sayang bunda.” Bibir kecilnya berucap.
Kurapatkan tubuhku dan kucium keningnya. “Bunda juga sayang Zishan ” gumamku.
Kurasakan nafasnya mulai teratur. Rupanya ia telah terlelap.
Kembali kuberikan kecupan sayang di wajah kecilnya.
“Hhhmm….” aku menghela nafas. Kebahagiaan ini sungguh luar biasa. Venska dan Zishan adalah anugrah terindah di kehidupan kami. Malaikat kecilku selalu membuatku tetap semangat nikmati sisa hidupku yang tidak lama lagi. Itu pun kalau ucapan dokter memang sesuai dengan takdir usiaku dari Tuhan.
Kembali aku teringat vonis yang dokter berikan terhadap penyakitku ini.
"Ibu harus kurangi aktifitas, jangan terlalu lelah." Dokter Vony berujar
Hanya sebuah senyum simpul yang kuberikan padanya.
"Ini sungguh-sungguh lho."
"Iya dokter." Jawabku.
"Kenapa suami ibu tidak pernah terlihat menemani ibu untuk check-up?" Lanjutnya.
"Suami saya sibuk dengan urusan kantor." Ucapku berbohong. Ah.. seaidainya dokter itu tau bahwa bahkan suamiku pun tidak mengetahui tumor otak yang menggerogoti tubuhku ini. Sudahlah...
Akupun tak habis fikir, bagaimana bisa hatinya tak bergeming sedikitpun oleh segala ketulusan dan kesetiaanku padanya. Jangankan untuk memuji kecantikanku ataupun segala yang kuberi padanya, bahkan untuk sekedar berbasa basi pun enggan rasanya.
Aku rasa ia tau bahwa aku begitu mencintainya, bahkan dengan sengaja kutunjukkan padanya. Tak bisakah ia rasakan besar cintaku dari pancaran mata ini, bahkan dari bahasa tubuh yang kerap kali kuperlihatkan padanya. Aku selalu berusaha mencari akal untuk mengungkapkan rasa sayangku padanya. Kalimat-kalimat cinta sering kukirimkan lewat pesan singkat. Tak jarang pula kuselipkan kalimat cinta ditumpukkan baju dalam lemari pakaian, di bawah tumpukan pakaiannya, di bawah bantal, dan di beberapa tempat yang tak pernah terduga, ku kirimkan pesan cinta itu padanya.
Benarkah ia memang tak perduli denganku, tak tau kesunyian yang kurasakan selama ini. Itukah yang mungkin membuatnya tak bisa perduli padaku. Rasa ibanya padaku pun tak ada, bahkan tak jarang justru ia membuatku selalu meneteskan air mataku.
Ia berkata bahwa sebenarnya ia tak ingin membuatku menangis. Tapi entah kenapa, kepolosan – kepolosan yang kadang kulakukan justru terlihat bodoh dimatanya. Kebodohan itulah yang membuatnya marah padaku. Tak jarang pula ia lontarkan kata-kata kasar padaku. Ia sengaja lakukan itu agar aku tau bahwa ia tidak suka dengan kebodohan yang kuilakukan ini, dan kebodohan yang paling sering kulakukan adalah menangis dihadapannya.
"Ah… s***..!"
Ia mengumpatku.
"Menyebalkan sekali. Kenapa kau begitu rapuh, mudah sekali meneteskanan air mata.Inilah yang membuatku tidak bisa mencintaimu meskipun kita telah bersama selama bertahun ini. " Gumamnya.
Dan justru semakin berurai air mataku.
***
Selama beberapa hari ini sikapnya memang begitu dingin padaku ,bahkan tak pernah lagi ia suguhkan sebuah senyum manisnya padaku, juga suaranya. Beberapa hari ini tak jua ia bertegur sapa denganku. Jenuhkah..?
Jangankan untuk bercengkrama , untuk sekedar menyuguhkan sebuah senyum manisnya padaku, pun suaranya begitu berat rasanya . Mungkin kejenuhan mengancamnya.
***
Apa ia tak bisa rasakan kesetiaan yang terlihat dari pancaran mataku, juga dari bahasa tubuhku selama ini. Bahkan ketika dengan setia aku menemaninya ketika tugas-tugas kantor menumpuk di meja kerjanya. Dengan setia dan tulus kuabdikan diriku sebagai seorang istri padanya.
“Mas, ini kopinya.” Ucapku sambil kusodorkan secangkir kopi.
“Ya..” Jawabnya singkat.
“Apa tidak sebaiknya mas istirahat dulu, besok dilanjutkan lagi. Bukankah besok pagi-pagi sekali mas ada meeting?” tanyaku sambil merapihkan sulamanku.
"Aku lapar,buatkan sepiring nasi goreng untukku."
Lalu aku beranjak dan kembali dengan sepiring nasi goreng untuknya.
"Tidurlah kalau kau sudah mengantuk." Ucapnya sambil menikmati nasi gorengnya.
"Iya mas, nanti saja. "
"Mas, kenapa sejak kita menikah sampai saat ini, kita tidak pernah sekalipun pergi bersama?" Lanjutku.
"Kau harus paham kesibukanku, kau bisa pergi dengan anak-anak. Kau sudah terbiasa mandiri sejak dulu kan"
"Iya mas. Maaf."
"Sudahlah,aku sibuk, jangan ganggu aku dengan pertanyaan bodohmu itu."
“Maaf mas”.
Lalu aku terdiam.
Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan lamunanku. Rupanya suamiku sudah pulang.
#########
Akupun tak habis fikir, bagaimana bisa hatiku tak bergeming sedikitpun oleh kepolosan wanita itu. Jangankan untuk memuji kecantikannya ataupun segala yang ia beri padaku, bahkan untuk sekedar berbasa basi pun enggan rasanya.
Aku sebenarnya tau ia begitu mencintaiku, besar cintanya bisa kuihat dari pancaran mata itu. Juga dari bahasa tubuhnya yang kerap kali kulihat. Ia Seolah tak pernah kehabisan akal untuk mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Kalimat-kalimat cinta sering ia kirimkan lewat pesan singkat. Tak jarang pula kutemukan kalimat cinta itu terselip ditumpukkan baju dalam lemari pakaianku, di bawah bantal, dan di beberapa tempat yang tak terduga, ia kirimkan pesan cinta itu padaku.
Aku sebenarnya perduli dengannya, Aku tau kesunyian yang ia rasakan selama ini. Aku ingin membuatnya tersenyum di kekosongan jiwanya. Tapi justru air matanya lah yang sering kulihat di kedua mata indah itu.
Sebenarnya aku tak ingin membuatnya menangis. Tapi entah kenapa, kepolosan – kepolosan yang ia lakukan justru terlihat bodoh dimataku. Kebodohan itulah yang membuatku marah padanya. Kulontarkan kata-kata kasar padanya agar ia tau bahwa aku tidak suka dengan kebodohan yang dilakukannya itu, dan kebodohan yang paling sering ia lakukan adalah menangis di hadapanku. Seolah aku ini begitu jahat padanya.
"Ah… s***..!"
Aku mengumpatnya.
"Menyebalkan sekali. Kenapa kau begitu rapuh, mudah sekali meneteskanan air mata. Inilah yang membuatku tidak bisa mencintaimu meskipun kita telah bersama selama bertahun ini". Aku menggumam.
Dan justru semakin berurai air matanya.
***
Selama beberapa hari ini sikapku memang begitu dingin padanya, bahkan tak pernah lagi kusuguhkan senyum manisku padanya, juga suaraku. Beberapa hari ini tak jua aku bertegur sapa dengannya. Sepertinya aku memang sudah bosan.
Jangankan untuk bercengkrama , untuk sekedar kusuguhkan senyum manisku padanya, pun suaraku begitu berat rasanya. Entahlah ia merasa atau tidak bahwa kejenuhan mengancamku.
Sengaja ia kusuguhi sebuah wacana yang mengarah pada kejenuhannku, berharap agar ia pahami semuanya. Namun semua itu sepertinya tak mengubah rasa yang ia miliki untukku selama ini. Tak pernah, dan takkan sedikitpun.
Sebenarnya ku bisa merasakan kesetiaannya padaku . Bahkan dengan sabarnya ia menungguku, temaniku lembur ketika tugas-tugas kantor menumpuk di meja kerjaku.
"Mas, ini kopinya." Kulirik ia meletakkan secangkir kopi di sisi kiri meja. Lalu kilihat ia berkutat merapihkan file-file yang berserakkan di lantai. Satu persatu disusunnya kertas-kertas itu dengan rapih di atas meja.
"Mas sebaiknya istirahat dulu sejenak, besok dilanjutkan lagi. Bukankan besok pagi-pagi sekali mas ada meeting?” Ucapnya sambil merapihkan sulamannya.
"Aku lapar,buatkan sepiring nasi goreng untukku."
Lalu kulihat ia beranjak dari tempat duduknya, dan benar saja, ia kembali dengan sepiring nasi goreng.
"Tidurlah kalau kau sudah mengantuk." Ucapku sambil kunikmati nasi gorengku. Dalam hati kupuji nasi goreng buatannya. Nikmat...
"Iya mas, nanti saja. Hhhmmm…mas, kenapa sejak kita menikah sampai saat ini, kita tidak pernah sekalipun pergi bersama?" Lanjutnya.
"Kau harus paham kesibukanku. Kau kan bisa pergi dengan anak-anak. Kau sudah terbiasa mandiri sejak dulu kan"
"Iya mas. Maaf."
"Sudahlah, aku sibuk, jangan ganggu aku dengan pertanyaan bodohmu itu."
“Maaf mas.”
Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya.
Ah... semua ini membuatku muak. Termasuk perhatian dan rasa cinta yang ia berikan padaku. Seharusnya ia tak usah menuntut cintaku untuknya.
Entahlah...
No comments:
Post a Comment