“Berapa tiket mbak?”
Sebuah suara melesat ke telingaku. Aku yang semula sedikit melamun, kontan terkejut mendengar suara tadi.
“Mbak, mau berapa tiket?”
Pria penjual tiket yang berusia separuh baya itu kembali bertanya padaku.
“Satu saja pak, duduk dekat jendela ya pak.”
“Ini mbak. Kursi nomor 13. Rp.10.000”
Kuambil tiket itu dan bergegas menuju kursi nomor 13, tepat disamping jendela. Bis itu masih kosong, tapi aku tak perduli, aku duduk sambil memandang ke luar jendela.
Di luar sana hujan, tapi rupanya hujan tak menyurutkan aktifitas orang –orang itu. Tiba-tiba saja mataku terpaku melihat seorang ibu buta. Ia berjalan bersama seorang anak berumur tak lebih dari 11 tahun.
Si ibu itu menengadahkan tangan kanannya, sementara itu putra kecilnya menuntun lagkah ibunya sambil menggamit lengan kiri sang ibu. Mereka meminta belas kasihan setiap orang yang ada di sepanjang peron. Tiba-tiba kurasakan pipiku basah oleh air mata yang tak kuasa kubendung. Anganku terbang seolah ibu dan adik laki-lakiku lah yang ada di sana, di peron itu, mengemis ke setiap orang yang mereka temui demi menyambung hidup kami. Air mataku kian deras menetes tak terbendung. Tba-tiba kakiku ingin rasanya melangkah ke sana.
Aku turun dari bis kosong itu, tergesa aku berjalan ke arah ibu buta itu, ku buka dompetku, kuberikan satu-satunya uang yang ada di dompetku, ku ulurkan selembar Rp.20.000 pada sang ibu.
“Terimakasih nak.” ucapnya
“Iya.” balasku
Kemudian aku membalikkan badan, berjalan menuju bisk. Tiba-tiba suara ibu tadi mendarat lagi di telingaku.
“Nak, siapa namamu?”
“Venska bu”
“Pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu venska” ucap ibu itu sembari mengusap tanganku. Air mataku kembali menetes mendengarnya. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang di ucapkan ibu itu sebab fikiranku terlalu kalut.
“Bu, Venska takut ketinggalan bis. Venska mohon diri bu.” ucapku memotong entah apa yang di ucapkan ibu itu.
“Mari bu,,” ucapku singkat seraya bergegas menuju bis yang akan membawaku pulang. Aku tak sanggup mendengar ucapan yang terlontar dari mulut ibu itu, terlalu menusukku rasanya.
“Ngapain mbak kasih duit ke pengemis itu?”
“Cuma orang yang malas bekerja mbak.”
“Ya mbak,”
“Rugi mbak.”
“Lho, kok nangis mbak?”
Semua ucapan orang di sepanjang peron itu tak ku hiraukan, aku berjalan lurus ke bis yang berwarna kombinasi biru tua itu.
Kubuka pintu bis, aku berjalan menuju kursi nomor 13. Kuhempaskan diri di kursi . Bis ma sih juga kosong, hanya ada aku di temani alunan lagu “ibu” milik iwan fals. Kubuka tirai jendela, kembali ku lihat ibu tua itu bersama putranya. Mereka sedang duduk sambil berbincang. Sesekali ku lihat senyum mengembang di wajah wanita tua itu.
Tiba-tiba aku kembali terngiang ucapan ibu tua itu. “Pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu venska.” Pipi ini kembali basah saat ku ingat ucapan wanita tua itu. Pasti wanita itu tidak tahu, betapa kecewanya ibuku memiliki anak yang tak berbakti sepertiku,anak yang selama ini di banggakannya, ternyata tak bisa memberikan kebanggaan apapun untuk seorang ibu yang telah melahirkannya, merawatnya, bahkan menghidupinya seorang diri sejak belasan tahun yang lalu.
Wanita tua itu tidak tahu bahwa Venska yang memberinya uang selembar Rp.20.000 tadi hanyalah seorang Venska yang telah membuat ibunya merasa kecewa.
Aku meraba wajahku, ternyata kedua pipiku semakin basah dengan air mata. Kuambil kaca dari dalam tas, kulihat mataku begitu sembab karena terlalu lama meneteskan air mata.
Kuusap sisa air mata yang menetes dengan sehelai tissue yang ku ambil dari dalam tas. Tiba-tiba aku merasa lapar, ingin rasanya membeli sepotong roti atau sebungkus tango untuk mengganjal perutku ini. Tapi sayangnya aku sudah tak memiliki selembar uang pun. Kuambil sebotol air minum dari dalam tas, kuteguk untuk membasahi tenggorokanku. Aku ingatn masih punya 3 bungkus cokelat yang kubeli kemarin sore saat aku membeli sebotol shampo.
“Lumayan buat ganjel perut.” Ucapku sembari membuka sebungkus cokelat.
“Ayo…..buruan naik, bis sudah mau berangkat!” Kudengar suara kondektur mengajak penumpang menaiki bis yang sedang kutumpangi.
Tak berapa lama bis mulai terisi penumpang. Mereka duduk sesuai nomor kursi dan karcis mereka.
“Mau kemana mbak?” tanya seorang remaja berseragam SMA sembari duduk di kursi sebelahku.
“Pulang.” jawabku
“Sama dong….pulang kemana mbak?”
“B.J” ucapku menyebutkan salah satu kota beriklim panas di Lampung.
“Kok betah sih mbak tinggal di sana,kan panas”
Aku hanya tersenyum.
“Oh ya mbak, aku Monita.” Ucapnya sembari mengulurkan tangan.
“Venska” jawabku disertai senyum
“Mbak tadi dari mana?”
“Dari tempat saudara”
“Di mana mbak?”
“P.U”
Kok pulangnya gak di anter mbak?”
Aku menggeleng.
“Gantian mbak yang nanya aku dong” ucapnya
“Tanya apa?” jawabku
“Apa aja lah mbak”
“Kamu kok jam segini udah pulang Ta?” aku mencoba bertanya.
“Iya mbak, aku tadi pulang cepet karena gurunya rapat, jadi sekalian aja aku pulang ke rumah,kebetulan kan besok minggu, jadi minta jatah untuk bayar kost” jawabnya panjang
Aku hanya mengangguk menanggapi jawaban yang dia berikan.
“Uang peronnya mbak!” tegur petugas peron.
Aku menyerahkan uang yang telah ku siapkan untuk peron.
“Monita gak ada uang receh mbak.”
“Udah kok Ta,tadi udah sekalian.” jawabku
“Makasih mbak.”
Aku mengangguk
Kuperhatikan petugas peron menghampiri tiap bangku. Setelah semua penumpang membayar peron, ia turun dari bis dan perlahan kurasakan bis mulai berjalan. Bis membawa kami keluar dari terminal induk itu.
“Pak sopir, hiburannya mana?” tiba-tiba suara Monita memecah keheningan bis yang kami tumpangi.
Kutengok gadis manis di sebelahku, aku tersenyum padanya sambil menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Biar gak ngantuk pak” sambungnya sambil tersenyum padaku.
Kemudian sang kondektur terlihat memutar sebuah CD berisi kumpulan lagu-lagu yang sedang booming sekarang.
Kudengar Monita bersenandung seiring lagu yang kudengar. Tak kuhiraukan dia, kuatur posisi dudukku, kurebahkan kepalaku di sandaran kursi itu. Aku terlelap.
“Venska, kenapa kamu buat ibu kecewa nak?”
Aku terdiam
“Kenapa tidak kamu hiraukan wejangan ibu nak?”
Aku terdiam.
“Apa ibu terlalu mengekangmu?”
Aku tetap terdiam
“Apa ibu terlalu keras terhadapmu?”
Aku tak bergeming
“Apa kamu lupa semua nasehat ibu?”
Aku tetap tertunduk
“Ibu pengen dengar, apa salah ibu nak?”
Aku menggeleng
“Venska sayang ibu kan nak?”
Aku mengangguk
“Ingat semua pesan ibu?”
Aku mengangguk
“Masih ingat nasehat ibu?”
Aku mengangguk lagi
“Masih ingat semuanya?”
Lagi-lagi aku mengangguk
“Kenapa mengecewakan ibu nak?”
Sampai batas ini air mataku tak lagi dapat ku bendung. Aku terisak dan semakin terisak. Ibu memelukku erat sekali, mencium keningku kemudian merebahknku di dadanya. Pelukan itu semakin erat, aku makin menangis makin menjadi tangisanku dalam pelukannya.
“Mbak Venska….!”
Tiba-tiba kudengar suara Monita. Rupanya barusan aku bermimpi dan benar-benar terisak.
“Mbak mimpi apa, kok nangis?” tanyanya.
Kuusap air mataku dengan sehelai tissue yang di sodorkan Monita.
“Mbak gak apa-apa kan?” kembali ia bertanya.
“Gak apa-apa kok Ta.” Ucapku sambil tersenyum padanya.
Kemudian kami sama-sama terdiam. Monita kembali menikmati lagu yang entah sudah kaset yang ke berapa yang di putar oleh kondektur.
Ketika aku hampir sampai tempat tujaunku,aku bersiap turun. Bis yang kami tumpangi berhenti di tempat yang ku minta.
“mMbak duluan ya Ta, makasih tissuenya.” Ucapku mengakhiri perjumpaanku dengan Monita.
“Iya mbak.” Jawabnya.
Pintu belakang bis di buka oleh kondektur. Aku bergegas turun kemudian aku menyetop angkot berwarna coklat yang akan membawaku pulang ke rumah.
Di dalam angkot aku hanya terdiam. Tak sabar rasanya aku ingin rasanya aku menjumpai ibu dan memeluknya seerat mungkin.
“Turun mana mbak?” Tanya pak sopir
“Oh…perempatan depan pak.” Jawabku gugup.
Angkot berhenti dan kuulurkan selembar lima ribuan pada pak sopir. Hatiku berdebar seiring langkahku menuju pintu rumahku. Kulihat pintu rumahku tertutup. Ibu belum pulang fikirku, tapi kulihat jendela rumahku terbuka.
Aku sudah sampai di depan pintu. Aku hanya berdiri terpaku dan sama sekali belum kubuka pintu rumahku. Perlahan ku sentuh gagang pintu, ku rasakan debaran ini makin kencang.
“Assallamualaikum….” Ucapku sambil kubuka pintu itu.
“Alaikumsallam”
Kudengar sebuah jawaban. Aku tahu itu suara siapa. Aku kenal, aku hafal sekali suara di dalam. Itu suara ibuku, seorang wanita yang selalu kurindu, wanita yang selalu membuatku ingin pulang dan rebah disampingnya.
____________________________
Bandar Lampung, Oktober 2004
____________________________
No comments:
Post a Comment