27 September 2010

Puzzle dari NYA

Bukankah 
kita tak perlu menjadi Jean paul satire yang dengan romantis 
menolak menikahi kekasihnya karena tak mau rebut eksistensinya,
kita tak perlu lakukan itu
sebab pernikahan kita nanti tidak akan sedikitpun mennghilangkan eksistensi. 
Justru sebagai bentuk tanggung jawab untuk menghargai pasangan dalam kebersamaan  disegala waktu

dalam pernikahan kita nanti 
semoga kita temukan arti pernikahan itu sendiri 
betapapun pahit dan tak terduga dan kita tempuh dengan bahagia 
seperti ketika kita menyusun puzzle yang begitu rumit namun mengasyikkan 

dalam pernikahan kita nanti
semoga kita tidak akan pernah bosan 
seperti layaknya serangkaian puzzle yang telah kita kenali polanya


semoga dalam pernikahan nanti
kita tetap bergairah melengkapi serangkaian puzzle hadiah dari Allah.
Keping demi keping dan mulai dari sisi manapun 
asalkan dari titik yang kita sepakati bersama 
dan kita bisa saling bertukar puzzle,saling mencocokkan pola dan corak setahap demi setahap dengan fikiran jernih





September 2010   
untuk kekasih hatiku  

Soledad

I still enjoyed “One Hundred Years of Solitude” by Gábriel Garciá Marquez when my sister, Ajeng entered my room. She take a sit in my bed. Knowing  I enjoyed my reading, she said that she want to talk to me.
“Dear, do you feel that we have lost our time much?"
Hearing that, I closed my book then  sit besides her.
"Sometimes I feel there is someone being gap between us. Is it right honey?” She continue her speaking.
“ We don't have much time to share anymore. Even just to talk around the bush. We almost haven’t time my dear”
“Sista, what’s on earth exactly?" I ask

“I just want you to tell me what do you think  about us now”
“Sist, I just want to see your happiness. It is enough for me." I said.
My sister looked up into my eyes. She try to dig up words to declare something such burden from the bottom of her heart. I can feel that she being speechless to talk to me.
“Sista, give me sorry to my words."
She gives her smile as the answer. She asked me to continue my speaking.


Then I continue my sentence, “sista, I still remember our past four years, I give you permission when you tell me that there is a men want to give happiness for you."


I take a breath in a moment. I stop my words, see my sister in a moment, then continued my words.
“I think you have known about him, who are him, including his personality. So I give my permission to you. As I told you before,  I’m on your path even though honestly I didn’t like him. I love you sista, I don’t want something hurt you, even your husband.”  I said.
“Honey, I know and realize it’s wrong. But am I wrong if I try to keep silent and wish everything will be better?"

While hearing her speaking, I’m down on her shoulder. I give my hug to her, full of love. Suppose to be her, may be I didn’t take this way.
“Sist, have you ever wished a time machine?" I said while give my smile to her.
She gives her smile as her answer.
“Well.. what do you feel just now?" I said.

“Wish everything will be alright, everything gonna be O.K."
Then her voice trialled off. She kiss me that left my room without a single words. Silent.

Two following days, my sister and I talking about it again.

“Sist, are you sure to let it like this?,I  mean, are you sure to let this condition just  like this? it’s about your new life”. I said while looked into her eyes.
“You know my position  dear, just let it flow and wish everything will be better.” 


I looked up into her sharpen eyes, then I give my big hug for her as big as my love for her. 




Next few days, when I'll take my book on my desk, I see One Hundred Years of Solitude by Gábriel Garciá Marque. Then I smile and knowing without asking why to my sista's decision. It's her own decision to let solitude on her own life.





Lampung, 2006

Try to be a good listener
and understanding 
without asking why

26 September 2010

eeeiiittsss.... ngapain Nda di sini..??

Bismillah....
well... mungkin terkesan ikut-ikutan anak muda jaman sekarang, nge-Blog.tapi... agaknya emang begitu. hehehehe.....(jadi malu ^_*).awalnya ide masukin semua tulisan ke blog ini sih karena ada tmen yang bilang, " knapa gak jdi satu aja dikumpulin di blog Nda?,daripada cuma ditulis dan disimpen file-filenya".
yo weis.... finally inilah jadinya. emang jauh dari kata indah.tapi... i'm just a little dreamer yang punya angan. *hehehe... lebay.com*
blog ini  isinya cuma tulisan-tulisan cerita yeng teramat singkat,pendek dan gak jelas (bukan cerpen sungguhan kya yg sering kalian baca itu) karna ini cuma imajinasi singkat yg lahir karena ISENG. maklumlah, imanjinasinya masih dangkal bgt.(pantesan...gak ada nilai seninya *_^). juga ada beberapa sajak pendek yang singkat juga pastinya.. . 
pokok e, ini lah hasil rangkaian abjad yg LAHIR (bayi kali....:D )  dan agaknya emang berhasil mempermalukan diri sendiri lewat blog ini dengan menumpah ruahkan (menumpah ruahkan. :-?) abjad di halaman -halaman ini. .
jujur, gak ada tujuan apapun dalam postingan blog ini. cuma jadi wadah uneg" aja . (bneran kok... ^_^) 

beberapa postingan emang sengaja dibuat kagem ibu kulo lan  abi , kagem sedoyo engkang kulo sayang. kagem bapak pun wonten.nyuwun ngapunten bilih wonten klenta-klentu dateng postingan kulo. (lhoh...kok jdi siaran daerah... :-/ ) hehehe....



 with love,,,,
Nda,,

25 September 2010

Pulang

“Berapa tiket mbak?”
Sebuah suara melesat ke telingaku. Aku yang semula sedikit melamun, kontan terkejut mendengar suara tadi.
“Mbak, mau berapa tiket?”
Pria penjual tiket yang berusia separuh baya itu kembali bertanya padaku.
“Satu saja pak, duduk dekat jendela ya pak.”

“Ini mbak. Kursi nomor 13. Rp.10.000”
Kuambil tiket itu dan bergegas menuju kursi nomor 13, tepat disamping jendela. Bis itu masih kosong, tapi aku tak perduli, aku duduk sambil memandang ke luar jendela.
Di luar sana hujan, tapi rupanya hujan tak menyurutkan aktifitas orang –orang itu. Tiba-tiba saja mataku terpaku melihat seorang ibu buta. Ia berjalan bersama seorang anak berumur tak lebih dari 11 tahun.

Si ibu itu menengadahkan tangan kanannya, sementara itu putra kecilnya menuntun lagkah ibunya sambil menggamit lengan kiri sang ibu. Mereka meminta belas kasihan setiap orang yang ada di sepanjang peron. Tiba-tiba kurasakan pipiku basah oleh air mata yang tak kuasa kubendung. Anganku terbang seolah ibu dan adik laki-lakiku lah yang ada di sana, di peron itu, mengemis ke setiap orang yang mereka temui demi menyambung hidup kami. Air mataku kian deras menetes tak terbendung. Tba-tiba kakiku ingin rasanya melangkah ke sana.

Aku turun dari bis kosong itu, tergesa aku berjalan ke arah ibu buta itu, ku buka dompetku, kuberikan satu-satunya uang yang ada di dompetku, ku ulurkan selembar Rp.20.000 pada sang ibu.

“Terimakasih nak.”  ucapnya
“Iya.”  balasku

Kemudian aku membalikkan badan, berjalan menuju bisk. Tiba-tiba suara ibu tadi mendarat lagi di telingaku.

“Nak, siapa namamu?”
“Venska bu”
“Pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu venska” ucap ibu itu sembari mengusap tanganku. Air mataku kembali menetes mendengarnya. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang di ucapkan ibu itu sebab fikiranku terlalu kalut.


“Bu, Venska takut ketinggalan bis. Venska mohon diri bu.”  ucapku memotong entah apa yang di ucapkan ibu itu.
“Mari bu,,”  ucapku singkat seraya bergegas menuju bis yang akan membawaku pulang. Aku tak sanggup mendengar ucapan yang terlontar dari mulut ibu itu, terlalu menusukku rasanya.
“Ngapain mbak kasih duit ke pengemis itu?”

“Cuma orang yang malas bekerja mbak.”
“Ya mbak,”
“Rugi mbak.”
“Lho, kok nangis mbak?”
Semua ucapan orang di sepanjang peron itu tak ku hiraukan, aku berjalan lurus ke bis yang berwarna kombinasi biru tua itu.

Kubuka pintu bis, aku berjalan menuju kursi nomor 13. Kuhempaskan diri di kursi . Bis ma sih juga kosong, hanya ada aku di temani alunan lagu “ibu” milik iwan fals. Kubuka tirai jendela, kembali ku lihat ibu tua itu bersama putranya. Mereka sedang duduk sambil berbincang. Sesekali ku lihat senyum mengembang di wajah wanita tua itu.

Tiba-tiba aku kembali terngiang ucapan ibu tua itu. “Pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu venska.”  Pipi ini kembali basah saat ku ingat ucapan wanita tua itu. Pasti wanita itu tidak tahu, betapa kecewanya ibuku memiliki anak yang tak berbakti sepertiku,anak yang selama ini di banggakannya, ternyata tak bisa memberikan kebanggaan apapun untuk seorang ibu yang telah melahirkannya, merawatnya, bahkan menghidupinya seorang diri sejak belasan tahun yang lalu.

Wanita tua itu tidak tahu bahwa Venska yang memberinya uang selembar Rp.20.000 tadi hanyalah seorang Venska yang telah membuat ibunya merasa kecewa.
Aku meraba wajahku, ternyata kedua pipiku semakin basah dengan air mata. Kuambil kaca dari dalam tas, kulihat mataku begitu sembab karena terlalu lama meneteskan air mata.
Kuusap sisa air mata yang menetes dengan sehelai tissue yang ku ambil dari dalam tas. Tiba-tiba aku merasa lapar, ingin rasanya membeli sepotong roti atau sebungkus tango untuk mengganjal perutku ini. Tapi sayangnya aku sudah tak memiliki selembar uang pun. Kuambil sebotol air minum dari dalam tas, kuteguk untuk membasahi tenggorokanku. Aku ingatn masih punya 3 bungkus cokelat yang  kubeli kemarin sore saat aku membeli sebotol shampo.

“Lumayan buat ganjel perut.”  Ucapku sembari membuka sebungkus cokelat.

“Ayo…..buruan naik, bis sudah mau berangkat!” Kudengar suara kondektur mengajak penumpang menaiki bis yang sedang kutumpangi.
Tak berapa lama bis mulai terisi penumpang. Mereka duduk sesuai nomor kursi dan karcis mereka.

“Mau kemana mbak?” tanya seorang remaja berseragam SMA sembari duduk di kursi sebelahku.

“Pulang.”  jawabku
“Sama dong….pulang kemana mbak?”
“B.J” ucapku menyebutkan salah satu kota beriklim panas di Lampung.
“Kok betah sih mbak tinggal di sana,kan panas”
Aku hanya tersenyum.
“Oh ya mbak, aku Monita.” Ucapnya sembari mengulurkan tangan.
“Venska” jawabku disertai senyum
“Mbak tadi dari mana?”
“Dari tempat saudara”
“Di mana mbak?”
“P.U”
Kok pulangnya gak di anter mbak?”
Aku menggeleng.

“Gantian mbak yang nanya aku dong” ucapnya
“Tanya apa?” jawabku
“Apa aja lah mbak”
“Kamu kok jam segini udah pulang Ta?” aku mencoba bertanya.

“Iya mbak, aku tadi pulang cepet karena gurunya rapat, jadi sekalian aja aku pulang  ke rumah,kebetulan kan besok minggu, jadi minta jatah untuk bayar kost” jawabnya panjang

Aku hanya mengangguk menanggapi jawaban yang dia berikan.
“Uang peronnya mbak!” tegur petugas peron.
Aku menyerahkan uang yang telah ku siapkan untuk peron.
“Monita gak ada uang receh mbak.”
“Udah kok Ta,tadi udah sekalian.” jawabku
“Makasih mbak.”
Aku mengangguk

Kuperhatikan petugas peron menghampiri tiap bangku. Setelah semua penumpang membayar peron, ia turun dari bis dan perlahan kurasakan bis mulai berjalan. Bis membawa kami keluar dari terminal induk itu.
“Pak sopir, hiburannya mana?” tiba-tiba suara Monita memecah keheningan bis yang kami tumpangi.

Kutengok gadis manis di sebelahku, aku tersenyum padanya sambil menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Biar gak ngantuk pak” sambungnya sambil tersenyum padaku.

Kemudian sang kondektur terlihat memutar sebuah CD berisi kumpulan lagu-lagu yang sedang booming sekarang.

Kudengar Monita bersenandung seiring lagu yang kudengar. Tak kuhiraukan dia, kuatur posisi dudukku, kurebahkan kepalaku di sandaran kursi itu. Aku terlelap.

“Venska, kenapa kamu buat ibu kecewa nak?”
Aku terdiam

“Kenapa tidak kamu hiraukan wejangan ibu nak?”
Aku terdiam.

“Apa ibu terlalu mengekangmu?”
Aku tetap terdiam
“Apa ibu terlalu keras terhadapmu?”
Aku tak bergeming


“Apa kamu lupa semua nasehat ibu?”
Aku tetap tertunduk
“Ibu pengen dengar, apa salah ibu nak?”
Aku menggeleng
“Venska sayang ibu kan nak?”
Aku mengangguk
“Ingat semua pesan ibu?”
Aku mengangguk
“Masih ingat nasehat ibu?”
Aku mengangguk lagi

“Masih ingat semuanya?”
Lagi-lagi aku mengangguk
“Kenapa mengecewakan ibu nak?”

Sampai batas ini air mataku tak lagi dapat ku bendung. Aku terisak dan semakin terisak. Ibu memelukku erat sekali, mencium keningku kemudian merebahknku di dadanya. Pelukan itu semakin erat, aku makin menangis makin menjadi tangisanku dalam pelukannya.

“Mbak Venska….!”
Tiba-tiba kudengar suara Monita. Rupanya barusan aku bermimpi dan benar-benar terisak.

“Mbak mimpi apa, kok nangis?” tanyanya.
Kuusap air mataku dengan sehelai tissue yang di sodorkan Monita.

“Mbak gak apa-apa kan?” kembali ia bertanya.

“Gak apa-apa kok Ta.”  Ucapku sambil tersenyum padanya.

Kemudian kami sama-sama terdiam. Monita kembali menikmati lagu yang entah sudah kaset yang ke berapa yang di putar oleh kondektur.

Ketika aku hampir sampai tempat tujaunku,aku bersiap turun. Bis yang kami tumpangi berhenti di tempat yang ku minta.

“mMbak duluan ya Ta, makasih tissuenya.”  Ucapku mengakhiri perjumpaanku dengan Monita.
“Iya mbak.”  Jawabnya.
Pintu belakang bis di buka oleh kondektur. Aku bergegas turun kemudian aku menyetop angkot berwarna coklat yang akan membawaku pulang ke rumah.
Di dalam angkot aku hanya terdiam. Tak sabar rasanya aku ingin rasanya aku menjumpai ibu dan memeluknya seerat mungkin.

“Turun mana mbak?” Tanya pak sopir
“Oh…perempatan depan pak.”  Jawabku gugup.

Angkot berhenti dan kuulurkan selembar lima ribuan pada pak sopir. Hatiku berdebar seiring langkahku menuju pintu rumahku. Kulihat pintu rumahku tertutup. Ibu belum pulang fikirku, tapi kulihat jendela rumahku terbuka.


Aku sudah sampai di depan pintu. Aku hanya berdiri terpaku dan sama sekali belum kubuka pintu rumahku. Perlahan ku sentuh gagang pintu, ku rasakan debaran ini makin kencang.
“Assallamualaikum….” Ucapku sambil kubuka pintu itu.

“Alaikumsallam”
Kudengar sebuah jawaban. Aku tahu itu suara siapa. Aku kenal, aku hafal sekali suara di dalam. Itu suara ibuku, seorang wanita yang selalu kurindu, wanita yang selalu membuatku  ingin pulang dan rebah disampingnya.

____________________________
  Bandar Lampung, Oktober 2004
____________________________