19 October 2010

MENGKAJI GERAKAN SASTRA 'HORISON'

 
oleh:Abdul Aziz Rasjid

Taufiq Ismail pernah merasa bahwa dirinya bersama puluhan anak SMA lain seangkatannya di seluruh Tanah Air telah menjadi generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Istilah nol buku menerangkan pada kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah sehingga mereka menjadi rabun membaca. Sedangkan istilah pincang mengarang diakibatkan tidak adanya latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.

Keadaan generasi yang rabun membaca dan pincang mengarang itu lalu diindikasikan Taufiq Ismail sebagai sebab mendasar amburadulnya Indonesia hari ini karena dimungkinkan generasi nol buku inilah yang kini menjadi warga Indonesia terpelajar dan memegang posisi menentukan arah Indonesia di seluruh strata, baik di pemerintahan maupun swasta.
 
Didorong oleh keresahan pada adanya generasi nol buku itulah, lalu Taufik Ismail menggagas gerakan sastra bersama majalah Horison–di mana Taufik Ismail pernah menjadi redaktur senior dan salah satu dewan redaksi–dengan tujuan menumbuhkan budaya membaca dan menulis bagi pelajar sekolah menengah, santri pesantren, maupun mahasiswa bagi kemajuan pendidikan sastra di Indonesia. Taufik Ismail dan Horison tak main-main memang, sasaran yang dituju meliputi SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK, sampai mahasiswa se-Indonesia.
Gerakan sastra itu terdiri dari lima program, berupa 1). Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison, 2). Pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), 3). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan 5). Program Sastrawan Bicara, dan Mahasiswa Membaca (SBMM).
 
Sisipan Kaki Langit (SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK) dalam majalah Horison digunakan sebagai medium mengenalkan sosok dan karya sastrawan Indonesia pada siswa. Sosok, karya, proses kreatif sastrawan Indonesia lalu diulas oleh Horison dengan harapan dapat memberi influence bagi siswa untuk lebih kreatif menulis, mengambil referensi, dan lebih akrab pada karya-karya sastrawan Indonesia. Untuk mempermudah akses pengonsumsian pada siswa, majalah Horison lalu disebar secara gratis ke SMA, madrasah aliah, pesantren, dan SMK. Di sisi lain, sisipan Kaki Langit dalam majalah Horison juga menjadi wadah bagi siswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk mengenalkan karyanya.
 
Siswa dapat menuliskan sajak, cerita mini, esai di mana karya siswa ini lalu ditelaah oleh Horison. Telaah yang dilakukan Horison dapat dikatakan sebagai edukasi sekaligus evaluasi agar teknik menulis siswa dapat lebih berkembang. Sedangkan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai eksekutor terpenting dalam lingkup pendidikan (sekolah menengah, pesantren) untuk membudayakan siswa membaca dan menulis, dalam sisipan Kaki Langit dapat berbagi pengalaman tentang metode pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah lewat kolom Pengalaman Guru.
 
Tiga Program lainnya, yaitu pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari–Oktober 2002), Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB), dan Program Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) adalah ajang promosi gagasan untuk membudayakan membaca dan menulis di instansi pendidikan, dan juga perjumpaan secara langsung antara beberapa sastrawan dengan sasaran gerakan sastra.
Program-program di atas setidaknya menjelaskan bahwa tradisi membaca dan menulis bagi siswa SMA, madrasah aliah, pesantren, SMK dan mahasiswa telah digalakkan. Hasil ideal juga telah didapati, yaitu adanya karya yang dihasilkan siswa SMA, madrasah aliyah, pesantren, SMK, dan mahasiswa yang kemudian dimuat dalam majalah Horison. Persoalan selanjutnya, tinggal bagaimana karya mereka selanjutnya (baik masih sebagai mahasiswa atau pelajar maupun setelah mentas sebagai mahasiswa atau pelajar) dapat diterbitkan lalu dikonsumsi masyarakat? Untuk dapat memprediksi sejauh apa peluang-peluang karya mereka dapat diterbitkan, tentu harus ditengok dahulu sistem penerbitan karya yang berjalan di Indonesia ini.
 
Menurut Yosi Ahmadun Herfanda dalam Kapitalisasi Sistem Produk Sastra Kota (Horison, edisi September 2004), secara umum keadaan sistem industri budaya di Indonesia terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama adalah sistem industri market oriented yang secara jelas mengejar pengembangan modal. Sedang kubu kedua adalah sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal. Dua hal ini memili corak tersendiri, karena memang secara dasar memiliki watak yang berbeda.
 
Sistem industri market oriented dilihat dari wataknya yang melakukan kapitalisasi produksi untuk pengembangan modal membentuk konsekuensi logis bagi penulis, yaitu berkompromi dengan kepentingan kapitalis, dalam sistem ini karya sebagai hasil produksi pemikiran dan kekreatifan penulis memang diharuskan sesuai dengan keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dalam sistem ini, maka peluang penulis menjadi besar jika idealisasi konsep penciptaan karya yang diyakini benar untuk sementara dipinggirkan lalu tunduk pada keinginan pasar yang dipersepsikan oleh kapitalis. Dampak yang terjadi kemudian, penulis hanya akan menjadi tenaga kerja produktif, karena tujuan penulisan karya demi popularitas dan pendapatan financial reward yang relatif besar.
 
Pada sistem industri yang tidak mengejar pengembangan modal atau dapat dikatakan sebagai kegiatan penerbitan yang tidak dimaksudkan untuk pengembangan modal–dalam bidang sastra Ahmadun mencontohkan Horison, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, dan Teater Utan Kayu, konsekuensi logis bagi penulis agar karyanya dapat tersosialisasi harus sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas itu. Sistem ini, secara positif memberi peluang kebebasan pada penulis untuk menuliskan idealisasinya, asal idealisasi itu harus melebihi atau sesuai dengan standar yang dipatok oleh komunitas, sedang sisi negatifnya akan melahirkan penulis-penulis yang hanya akan menjadi tenaga kerja repetitif karena tujuan penulisan sekadar menyesuaikan selera komunitas.
Dalam sistem penerbitan inilah, pekerjaan rumah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menumbuhkan tradisi membaca dan menulis semacam yang dilakukan majalah Horison mendapat tantangan sebenarnya, yaitu memberitahu sejak dini pada siswa pentingnya menjadi tenaga ahli dalam bidang apa pun, lalu mewartakan tentang pentingnya cara menyiasati peluang-peluang pemasaran karya guna mempertahankan idealisasi pemikiran mereka.
 
 
 

17 October 2010

Mahligai Setengah Rasa

Kuperhatikan wajah malaikat kecilku. Kuselusuri garis-garis kelembutan di wajahnya, kubelai rambut lembutnya. Sesekali kulihat ia membuka mata indahnya dan menyunggingkan senyum kecilnya untukku.
“Zishan sayang bunda.”  Bibir kecilnya berucap.

Kurapatkan tubuhku dan kucium keningnya. “Bunda juga sayang Zishan ”  gumamku.
Kurasakan nafasnya mulai teratur. Rupanya ia telah terlelap.
Kembali kuberikan kecupan sayang di wajah kecilnya.

“Hhhmm….”  aku menghela nafas. Kebahagiaan ini sungguh luar biasa.  Venska dan Zishan adalah anugrah terindah di kehidupan kami.  Malaikat kecilku selalu membuatku tetap semangat nikmati sisa hidupku yang tidak lama lagi.  Itu pun kalau ucapan dokter memang sesuai dengan takdir usiaku dari Tuhan.

Kembali aku teringat vonis yang dokter berikan terhadap penyakitku ini.

"Ibu harus kurangi aktifitas, jangan terlalu lelah."  Dokter Vony berujar
Hanya sebuah senyum simpul yang kuberikan padanya.
"Ini sungguh-sungguh lho."
"Iya dokter."  Jawabku.
"Kenapa suami ibu tidak pernah terlihat menemani ibu untuk check-up?"  Lanjutnya.
"Suami saya sibuk dengan urusan kantor."  Ucapku berbohong. Ah.. seaidainya dokter itu tau bahwa bahkan suamiku pun tidak mengetahui tumor otak yang menggerogoti tubuhku ini. Sudahlah...

Akupun tak habis fikir, bagaimana bisa hatinya tak bergeming sedikitpun oleh segala ketulusan dan kesetiaanku padanya. Jangankan untuk memuji kecantikanku ataupun segala yang kuberi padanya, bahkan untuk sekedar berbasa basi pun enggan rasanya.

Aku rasa ia tau bahwa aku begitu mencintainya, bahkan dengan sengaja kutunjukkan padanya.   Tak bisakah ia rasakan besar cintaku dari pancaran mata ini,  bahkan dari bahasa tubuh yang kerap kali kuperlihatkan padanya.  Aku selalu berusaha mencari akal untuk mengungkapkan rasa sayangku padanya.  Kalimat-kalimat cinta sering kukirimkan lewat pesan singkat.  Tak jarang pula kuselipkan kalimat cinta ditumpukkan baju dalam lemari pakaian, di bawah tumpukan pakaiannya, di bawah bantal, dan di beberapa tempat yang tak pernah terduga, ku kirimkan pesan cinta itu padanya.

Benarkah  ia memang tak perduli denganku,  tak tau kesunyian yang kurasakan selama ini. Itukah yang mungkin membuatnya tak bisa perduli padaku.  Rasa ibanya padaku pun tak ada, bahkan tak jarang justru ia membuatku selalu meneteskan air mataku.

Ia berkata bahwa sebenarnya ia tak ingin membuatku menangis. Tapi entah kenapa, kepolosan – kepolosan yang kadang kulakukan justru terlihat bodoh dimatanya.  Kebodohan itulah yang membuatnya marah padaku. Tak jarang pula ia lontarkan kata-kata kasar padaku.  Ia sengaja lakukan itu agar aku tau bahwa ia tidak suka dengan kebodohan yang kuilakukan ini, dan  kebodohan yang paling sering kulakukan adalah menangis dihadapannya.

"Ah… s***..!"
Ia mengumpatku.

"Menyebalkan sekali. Kenapa kau  begitu rapuh, mudah sekali meneteskanan air mata.Inilah yang membuatku tidak bisa mencintaimu meskipun kita telah bersama selama bertahun ini. "  Gumamnya.

Dan justru semakin berurai air mataku.



                                                                           ***
Selama beberapa hari ini sikapnya memang begitu dingin padaku ,bahkan tak pernah lagi ia suguhkan sebuah senyum manisnya padaku, juga suaranya. Beberapa hari ini tak jua ia bertegur sapa denganku.  Jenuhkah..?
Jangankan untuk bercengkrama , untuk sekedar menyuguhkan sebuah senyum manisnya padaku, pun suaranya begitu berat rasanya . Mungkin kejenuhan mengancamnya.

                                                                              ***
Apa ia tak bisa rasakan kesetiaan yang terlihat dari pancaran mataku, juga dari bahasa tubuhku selama ini. Bahkan ketika dengan setia aku menemaninya ketika tugas-tugas kantor menumpuk di meja kerjanya. Dengan setia dan tulus kuabdikan diriku sebagai seorang istri padanya.

“Mas, ini kopinya.”  Ucapku sambil kusodorkan secangkir kopi.
“Ya..”  Jawabnya singkat.
“Apa tidak sebaiknya mas istirahat dulu, besok dilanjutkan lagi. Bukankah besok pagi-pagi sekali mas ada meeting?”  tanyaku  sambil merapihkan sulamanku.

"Aku lapar,buatkan sepiring nasi goreng untukku."

Lalu aku beranjak dan  kembali dengan sepiring nasi goreng untuknya.

"Tidurlah kalau kau sudah mengantuk."  Ucapnya sambil menikmati nasi gorengnya.
"Iya mas, nanti saja. "
"Mas, kenapa sejak kita menikah sampai saat ini, kita tidak pernah sekalipun pergi bersama?"   Lanjutku.

"Kau harus paham kesibukanku, kau bisa pergi dengan anak-anak. Kau sudah terbiasa mandiri sejak dulu kan"
"Iya mas. Maaf."

"Sudahlah,aku sibuk, jangan ganggu aku dengan pertanyaan bodohmu itu."
“Maaf mas”.
Lalu aku terdiam.

Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan lamunanku. Rupanya suamiku sudah pulang.


                                                                 #########

Akupun  tak habis fikir, bagaimana bisa hatiku tak  bergeming sedikitpun oleh kepolosan wanita itu. Jangankan untuk memuji kecantikannya  ataupun segala yang ia beri padaku, bahkan untuk sekedar berbasa basi pun enggan rasanya. 

Aku  sebenarnya tau ia begitu mencintaiku, besar cintanya bisa kuihat dari pancaran  mata itu.  Juga dari bahasa tubuhnya  yang kerap kali kulihat.  Ia Seolah tak pernah  kehabisan   akal untuk mengungkapkan rasa sayangnya padaku.  Kalimat-kalimat  cinta sering ia kirimkan  lewat pesan singkat. Tak jarang  pula kutemukan  kalimat cinta itu terselip ditumpukkan baju dalam lemari pakaianku, di bawah bantal, dan di beberapa tempat yang tak terduga, ia kirimkan pesan cinta itu padaku.

Aku sebenarnya perduli dengannya,  Aku tau kesunyian yang ia rasakan selama ini. Aku ingin membuatnya tersenyum di kekosongan jiwanya.  Tapi  justru air matanya  lah yang sering kulihat di kedua mata  indah itu.

Sebenarnya aku tak ingin membuatnya menangis. Tapi  entah kenapa, kepolosan – kepolosan  yang  ia lakukan justru  terlihat bodoh dimataku. Kebodohan itulah yang membuatku  marah padanya. Kulontarkan kata-kata kasar padanya agar ia tau bahwa aku  tidak suka dengan kebodohan  yang dilakukannya itu, dan  kebodohan yang paling sering ia lakukan adalah menangis di hadapanku.  Seolah aku ini  begitu jahat padanya.

"Ah… s***..!"
Aku mengumpatnya.

"Menyebalkan sekali. Kenapa kau  begitu rapuh, mudah sekali meneteskanan air mata. Inilah yang membuatku tidak bisa mencintaimu meskipun kita telah bersama selama bertahun ini".  Aku menggumam.
Dan justru semakin berurai air matanya.


                                                                                       ***

Selama beberapa hari ini sikapku memang begitu dingin padanya, bahkan tak pernah lagi kusuguhkan  senyum manisku padanya,  juga suaraku.  Beberapa hari ini tak jua aku bertegur sapa dengannya. Sepertinya aku memang sudah bosan.
Jangankan untuk bercengkrama , untuk sekedar kusuguhkan  senyum manisku padanya, pun suaraku begitu berat rasanya.  Entahlah ia merasa atau tidak bahwa kejenuhan mengancamku.


Sengaja ia kusuguhi sebuah wacana yang mengarah pada kejenuhannku, berharap agar ia pahami semuanya. Namun semua itu sepertinya tak mengubah rasa yang ia miliki untukku selama ini. Tak pernah, dan takkan sedikitpun.

Sebenarnya ku bisa merasakan kesetiaannya padaku . Bahkan dengan sabarnya ia menungguku, temaniku lembur ketika tugas-tugas kantor menumpuk di meja kerjaku.

 "Mas, ini kopinya."  Kulirik ia meletakkan secangkir kopi di sisi kiri meja. Lalu kilihat ia berkutat merapihkan file-file yang berserakkan di lantai. Satu persatu disusunnya kertas-kertas itu dengan rapih di atas meja.  

"Mas sebaiknya istirahat dulu sejenak, besok dilanjutkan lagi. Bukankan besok pagi-pagi sekali mas ada meeting?”  Ucapnya sambil merapihkan sulamannya.

"Aku lapar,buatkan sepiring nasi goreng untukku."

Lalu kulihat ia beranjak dari tempat duduknya, dan benar saja, ia kembali dengan sepiring nasi goreng.  
"Tidurlah kalau kau sudah mengantuk."  Ucapku sambil kunikmati nasi gorengku. Dalam hati kupuji nasi goreng buatannya. Nikmat...
"Iya mas, nanti saja.  Hhhmmm…mas, kenapa sejak kita menikah sampai saat ini, kita tidak pernah sekalipun pergi bersama?" Lanjutnya.
"Kau harus paham kesibukanku. Kau kan bisa pergi dengan anak-anak. Kau sudah terbiasa mandiri sejak dulu kan"
"Iya mas. Maaf."
"Sudahlah, aku sibuk, jangan ganggu aku dengan pertanyaan bodohmu itu."
“Maaf mas.” 
Hanya itu kalimat yang keluar dari bibirnya.

Ah... semua ini membuatku muak. Termasuk perhatian dan rasa cinta yang ia berikan padaku. Seharusnya ia tak usah menuntut cintaku untuknya.

Entahlah...