Jika kau dan aku sedang duduk, mengobrol dan menikmati secangkir teh hangat sambil kita membicarakan sesuatu yang sudah lama terjadi,dan aku berkata kepadamu, “waktu itu ketika aku bertemu si dia adalah hari paling buruk sekaligus hari indah dalam hidupku”.
Kurasa kau akan meletakkan secangkir tehmu dan berkata; “Mana yang benar sebenarnya? karena aneh rasanya. Tak mungkin”.
Kemudian aku akan tersenyum simpul padamu sambil memperhatikan rona keheranan di wajahmu. Memang benar waktu itu ketika aku bertemu seorang Jasuni Kesuma adalah hari indah, namun sekaligus juga hari yang buruk kian berlanjut.
Aku tidak lahir dan di besarkan dari sebuah keluarga yang menjadi impian semua orang. Aku anak sepasang suami istri yang dulunya begitu saling mencinta, namun pada akhirnya waktu lah yang membuat mereka menyerah perjuangkan cinta yang dulu mereka agung- agungkan. Pada akhirnya mereka lebih memilih berpisah. Kala itu mungkin mereka tidak menyadari bahwa perpisahan itulah yang membawaku dan adikku tumbuh dewasa dalam dekapan bunda.
Bundaku, setelah keputusan yang di ambilnya kala itu, mencoba bertahan sebagai seorang single parent bagi kami. Di mataku, bunda sosok wanita tegar. Bunda mampu menghidupi kami tanpa bantuan siapapun. Bunda benar-benar mendidik, membimbing dan membesarkan kami seorang diri, bahkan tak sepersenpun ia menerima uang dari mantan suaminya sekedar untuk uang saku kami. Ironis memang.
Bertahun sudah kami hidup bertiga. Meski terkadang rindu pada sosok seorang ayah menghantuiku,tapi selalu bisa ku tepis. Kasih sayang yang bunda berikan selalu lebih dari cukup bagiku. Tak pernah sedikitpun bunda mengeluh. Semua di jalani dengan ikhlas.
Bertahun kemudian ketika aku hampir menyelesaikan kuliahku, ketika aku sudah hampir bisa melupakan kejadian masa kecilku dulu, tiba-tiba aku bertemu seseorang yang kembali membuka segala kenangan masa kecilku itu.
Pertemuanku dengannya timbulkan dilema. Disatu sissi aku bahagia karena setelah sekian tahun akhirnya aku bertemu dengannya, seseorang yang pernah begitu sangat kurindu hadirnnyaditengah kami selama bertahun ini. Kebahagiaan itu hanya sesaat saja menjelma dirasaku. Justru kebencian, rasa muak, bahkan amarahlah yang kian bertahta.
Hanya dengan melihat wajahnya, terbukalah kembali pintu kenangan yang telah rapat terkunci selama bertahun ini. Kembali kuingat saat dia tinggalkan bunda, adikku dan aku. Kembali kuingat saat dia melenggang tanpa pernah hiraukan kami, tanpa pernah datang kunjungi kami, meskipun hanya sekedar untuk melepas rindu. Seolah dia sengaja ingin lupakan kami.
Kala itu dia bertanya padaku kenapa selama ini aku tak pernah mencarinya. Tak kuhiraukan ucapannya. Hanya senyum kecil yang kuberikan.
“Untuk apa?” . Fikirku. Seharusnya akulah yang bertanya padanya. Selama bertahun tahun dia tak perduli pada kami. Kenapa dia tak perduli pada kami, kenapa dia tak mengunjungi kami. Kenapa dia tak pernah ada saat kami butuhkan . Di mana dia saat bunda seorang diri merawat kami.
Kini, aku telah terbiasa hidup tanpa dia dari usia 10 tahunku hingga saat ini. Selama bertahun kujalani hidupku hanya dengan bunda dan adikku. Setelah luka selama bertahun- tahun ini, tak lagi kurindukan sosok seorang Jasuni Kesuma. Hanya bundalah yang akan selalu menjadi numero uno.
________________________________________________________
Untuk seorang Jasuni Kesuma yang dulu pernah begitu kurindu.
________________________________________________________
well... apa ini imajinasi?
ReplyDelete