“Mak… Mak…”
“ Assalamualaikum…” sama sekali tak kudengar suara emakku yang menjawab panggilanku dari dalam. Kuintip melalui jendela samping rumah. Tak ada tanda- tanda bahwa emak ada di dalam. “Kenapa emak tidak ada di rumah? Bukankah tadi pagi sudah kubilang agar emak istrahat saja di rumah”. Fikirku.
Segera saja aku menuju pintu depan. Pintu rumah kami memang rusak, jadi hanya butuh menjulurkan tangan melalui jendela saja kau sudah pasti bisa membuka pintu yang terkait dengan ganjal pintu dari dalam. Bergegas aku menuju kamar dan melepas baju yang kupakai beserta kerudung biru ini dan bergati dengan kaos oblong yang tergantung di balik pintu. Segera saja aku beringsut mengambil air wudhu dan kulaksanakan sholat dzuhur. Ketika kuselesaikan salam terakhirku, kudengar pintu kamarku berderit.
“Lho, weis balik nduk?” suara emak menghampiri telingaku. “Nggeh mak… sepagi ini Alhamdulillah pasar lumayan rame, jadi es dawet dan pecelku hari ini laris manis. ”
“Alhamdulillah..yo nduk. Jadi kamu bisa istirahat lebih awal”. Ucap emak sembari duduk di ranjangku yang kayunya sudah mulai rapuh itu.
Kuberikan senyum terindahku padanya.
“Emak dari mana saja ? Kan nduk sudah bilang tadi pagi toh mak. Emak itu istirahat saja di rumah, jangan ke mana- mana. Kan emak lagi kurang sehat”.
“Emak weis mari nduk, makanya tadi emak njenguk mbok Kromo. Kasian lho nduk. Mbok Kromo itu sebatang kara di desa kita ini. Tadi pagi yu Darmi ngajakin njenguk mbok Kromo yg lagi gerah. Yo weis, emak ikut aja. Lha wong emak juga weis mari kok. Udah sehat”.
“ Wealah… wong meriang kok yo tilik wong sakit juga lho mak..mak..”'. Celotehku.
Kulihat tawa mengembang di bibirnya.
“Maafkan emak yo nduk. Kamu nggak bisa melanjutkan pendidikanmu sampai perguruan tinggi. Malahan kamu harus bantuin emak jualan pecel dan es dawet di pasar”. Emak berkata sembari mengusap rambut panjangku.
“Sudahlah mak, nduk ngak apa-apa kok. Nduk sama sekali nggak keberatan kok bantuin emak dagang di pasar. Suatu saat nanti kalo uang tabungan nduk sudah banyak, kan nduk bisa kuliah. Ngoten to mak..?” . Jawabku sambil menggenggam erat tangannya.
Kulihat air matanya mengembang di wajah sendunya. Ada binar bahagia bercampur sedih di kelopak mata itu.
“Emak, kenapa menangis?”
Emak hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban pertanyaanku.
“Yo weis, emak mau ke belakang dulu nduk. Mau cari godong pisang untuk jualan besok”. Lanjutnya sembari meninggalkan kamarku.
*******
Adzan subuh membangunkan lelapku semalaman. Rupanya hujan di luar sana. Aras-arasen sekali rasanya untuk beranjak dari tempat tidur. Tapi aku harus segera bangun dan sholat subuh sebelum mulai aktifitasku di dapur bersama emak. Sepertinya emak sudah lebih ke belakang untuk membasuh wajah teduhnya dengan air wudhu.
“Wealah.. emak sampun duluan ternyata”. Sapaku.
“Kalo udah denger adzan, emak weis ora iso ngliyep meneh nduk” . Ucapnya sambil memberi cubitan kecil di pipiku.
“Mak, tungguin nduk ya. Kita berjamaah saja”.
“Yo weis”.
Tak berapa lama kami pun berjamaah di kamar emak. Kebetulan gubuk kecil kami hanya memiliki dua buah kamar tidur. Pas sekali dengan jumlah penghuninya. Hanya ada emak dan juga aku, putri semata wayangnya.
Selesai sholat, kami pun ke dapur untuk mengerjakan tugas masing- masing. Emak mulai merebus sayuran dan segala yang dibutuhkan untuk dagangan pecel, sedangkan aku sendiri sibuk membuat air gula merah, santan dan juga dawet ataupun cendol untuk hari ini. Tepat pukul enam pagi semua daganganku telah siap untuk dibawa ke pasar.
“Mak, sudah selesai”. Tanyaku sembari membereskan semuanya.
“ Urung nduk. Coba tolong kamu liat lontong yang mak buat ssudah matang atau belum”. Jawab emak sembari sibuk memasukkan dayuran ke dalam baskom besar.
Bergegas kubantu emak untuk memastikan lontong daun buatan emak. Sudah matang rupanya. Segera kuangkat dan kutiriskan. Setelah itu kususun di baskom, bersama dengan sayuran dan bahan- bahan lainnya yang akan kami bawa ke pasar hari ini.
“Nduk, emak mandi duluan ya..”
“Nggeh mak”. Jawabku sekenanya.
Ketika semua sudah siap, kami bergegas ke pasar. Kudorong gerobak daganganku dengan penuh semangat menuju pasar tempel di desa kecil kami, Rejo Makmur. Cukup jauh memang, tapi ini sudah menjadi keseharian kami. Aku hanya merasa kasian dengan emak yang harus berjalan sejauh 3 km untuk sampai ke pasar.
“Emak capek yo mak?”. Tanyaku sambil terus mendorong gerobakku.
“Nggak kok nduk. Kan udah biasa toh kita setiap hari lewat tanjakan ini”. Jawab emak sambil terengak mendaki jalanan yang menanjak. Kasian sekali emak. Setiap hari harus melewati jalanan yang melelahkan. Apalagi untuk wanita tua seusia emak.
“Alhamdulillah… sudah sampai mak”. Dengan wajah berbinar aku berucap.
Emak hanya menyunggingkan senyum lembutnya. Kubiarkan emak istirahat sejenak. Kuambil alih semua tugas- tugas emak. Mulai dari menata semua dagangan hingga melayani pelanggan pecel dan dawet kami. Hari ini hari pasaran, jadi pasar begitu ramai luar biasa. Hampir kewalahan aku melayani mereka.
*****
“Plak..”. Sebuah tamparan kasar mendarat di pipi kanan emak. Kulihat emak limbung. Rupanya tamparan itu begitu keras untuk emakku.
“Seharusnya kau tak usah mencampuri urusanku. Kau cukup mengurus anak saja, tak usah menasehatiku. Kau tak berhak untuk itu”. Kudengar suara bapak memecah keheningan. Tak kudengar jawaban dari emak. Hanya isak tangis yang kudengar dan kulihat dari celah geribik yang memisahkan kamarku dengan kamar emak. Emak terduduk di ranjang tua itu sambil tak henti mengelus dada.
“Tapi mas, aku hanya mengingatkanmu saja. Tak lebih dari itu. Aku takut mas lupa tanggung jawab mas terhadap anak kita”. Akhirnya kudengar suara emak disela isak tangisnya.
“Sudahlah.. aku bosan, muak dengan tangisanmu itu”. Bapak menggumam sambil melangkah keluar kamar. Kudekatkan mataku di dinding kamar agar bisa lebih jelas kulihat emak di kamarnya.
Ingin rasanya kudatangi bapakku dan kupukul dengan balok kayu. Muak sekali kulihat tingkah laku bapak yang begitu kejam terhadap emak. Tak tega aku melihat emak setiap hari menitikkan air mata untuk lelaki macam bapak. Pengabdian emak sebagai seorang istri tak pernah berharga dimata bapak.
“Dasar lelaki kurang ajar…”. Aku mengumpat dalam hati, merutuki bapak yang begitu biadap di mataku. Ada kekecewaan yang begitu besar di hatiku.
“Nduk, kamu itu kenapa, kok ngelamun wae dari tadi? ”.
Tiba – tiba suara lembut emak membuyarkan lamunanku.
“Untung wae nggak ono sing tuku. Weis, ojo ngelamun wae. Ora pareng lho nduk, kerjo kok nyambi ngelamun”.
“Eh, nggak ngelamuk kok mak”. Tergagap aku menjawabnya. “Nduk Cuma lagi menghayal jadi wong sugih 11mak”. Lanjutku. Emak hanya menggelengkan kepala saja melihatku.
Tepat ketika adzan dzuhur, dagangan kami habis. Segera kubereskan dan bersiap pulang. Dalam perjalanan pulang, aku bertekat untuk membuatkan emak sebuah warung kecil di halaman rumah kami, tepat di bawah pohon rambutan.
*****
“Emak… ini untuk emak”. Ucapku sambil kusodorkan hasil tabunganku. “ Ini bisa emak pakai untuk bikin warung kecil di depan rumah, jadi emak nggak perlu lagi dagang pecel dan dawet di pasar.
“Uang dari siapa ini nduk? Banyak sekali.” Tanya emak penasaran.
“Nduk sayang sekali dengan emak. Nduk kasian ngeliat emak capek setiap hari harus jalan kaki sejauh itu untuk jualan pecel dan es dawet di pasar, jadi celengan jago itu nduk pecahin”.
“Oalah nduk..nduk...terima kasih. Maturnuwun. Apa yang harus emak berikan untukmu sebagai balasannya”. Suara emak bergetar.
“Nduk nggak minta apa- apa kok mak. Emak sudah memberika limpahan kasih sayang yang begitu besar untuk nduk. Itu sudah lebih dari cukup. Setiap doa tulus yang emak panjatkan sudah jadi penerang bagi langkah nduk selama ini”.
Kurapatkan tubuhku dan kuberikan kecupan sayang di kedua pipinya. Perlahan air mata cinta meluncur dari kelopak matanya.
____________________________________________
Lampung, Penghujung April 2011.
Sembah sungkem kagem ibu ingkang kulo sayang.
(Tulisan pendek yang tergabung dalam
Ramadhan Terindahku bersama para sahabat SYS).
____________________________________________
1. Lho, weis balik nduk?: lho, sudah pulang nak? (panggilan untuk anak perempuan dalam adat jawa)?
2. Nggeh :iya (diucapkan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua)
3. Emak weis mari nduk: ibu sudah sembuh nak
4. Wealah… wong meriang kok yo tilik wong sakit juga lho mak..mak..: sedang sakit kok menjenguk orang lain yang sedang sakit juga
5. Ngoten to mak..? : begitu kan bu
6. godong pisang: daun pisang
7.emak weis ora iso ngliyep meneh: ibu tidak bisa terlelap lagi
8. Urung: belum
9. Untung wae nggak ono sing tuku. Weis, ojo ngelamun wae. Ora pareng lho nduk, kerjo kok nyambi ngelamun”: untung saja tidak ada pembeli. sudahlah jangan melamun. tidak baik jika bekerja sembari melamun
10. wong sugih : orang kaya
11. Aras-arasen : rasa malas melakukan sesuatu